Bagian 2 : Nama Baru untuk Betari

21 6 0
                                    


"Gue ke kantin dulu, ya."

Aku baru saja selesai ekskul basket. Sudah dua minggu aku menjalankannya, dan ternyata tidak ada masalah sama sekali. Aku yakin dengan ucapan Mbak Yung. Sampai akhirnya, ya, aku nyaman bergabung di ekskul ini.

Gadis yang berbicara denganku tadi namanya Aqueen. Dia teman sekelasku, kebetulan kita mengambil ekstrakulikuler yang sama. Aqueen ke kantin pasti dia ingin membeli minum. Permainan kita tadi cukup penguras keringat, sehingga aku, bahkan teman-teman lain juga merasakan tenggorokan mereka kering. Ditambah hari ini awan tidak ada, hanya matahari yang langsung menghentakan sinarnya ke bumi.

"Semakin hari lo udah semakin jago ya bawa bolanya." Itu Dewa. Dia meneguk air yang ada di botol minumnya.

"Thank's."

Dewa duduk di sebelahku. Matanya memandang lurus ke arah lapangan. "Bahkan minggu ini lo udah tiga kali masukin bole ke ring." Dia bertepuk tangan, sebagai tanda apresiasi atas keberhasilanku.

Semakin aku pelajari, semakin bisa aku memahaminya. Semakin aku mencoba, semakin aku tertarik dengannya.

"Terimakasih loh, itu jugakan berkat lo."

Beberapa hari ini Dewa sering mengajarkanku beberapa teknik bermain basket seperti Dribbling, Shooting, Passing, dan lainnya. Banyak sekali caranya ternyata, sampai-sampai aku kadang lupa bagaimana melakukannya. Tapi Dewa selalu membantuku. Ya makanya kenapa aku bilang keberhasilan ini juga berkat dirinya.

"It's oke, kalau enggak gue ajarin, nanti kepala lo bisa benjol terus," ledeknya. Aku terkekeh.

"By the way, kenapa lo pilih ekskul basket? Padahal masih banyak loh ekskul lain. Contohnya padus, kir, teater, juga oke. Kalau lo ikut teater gue yang akan nonton paling depan!" Dia terkekeh pelan.

"Eh, jangan deh. Kalau lo masuk teater kita enggak akan bisa ngobrol sedeket ini. Jarak kita sebatas panggung dan bangku penonton."

Aku tersenyum. Suka-suka dia deh.

"Jadi alasannya?"

"Karena gue pengen tinggi."

"Rata-rata cewek yang gue tanyain kayak gini pasti jawabannya enggak jauh-jauh dari kata 'tinggi'. Emang tinggi lo berapa?"

"154."

"Ohhh, lumayan sih itu." aku menoleh, hah? Lumayan katanya? Aku tidak salah dengar, ini? Satu keluargaku malah ngeledkin aku pendek, loh.

"Lumayan pendek maksudnya." Dewa tertawa. Aku langsung memicingkan mata padanya. Ternyata dia sama saja dengan keluargaku. Sama-sama menyebalkan. "Tapi jangan khawatir, gue akan bantu lo untuk tambahin tinggi badan lo itu."

"Gimana gini, mulai sekarang gue panggil lo Tinggi, boleh enggak?" Pertanyaan yang aneh. Aku tidak tahu lagi apa yang akan keluar dari mulutnya setelah ini.

"Kenapa Tinggi?" tanyaku sedikit bingung.

Dewa membenarkan cara duduknya. "Kalau gue panggil lo dengan sebutan 'Tinggi' bisa aja Tuhan denger, kan, terus dia kabulin."

Oh, maksudnya agar Tuhan mengabulkan keinginanku untuk meninggikan badan.

"Katanya, omongan adalah doa. Jadi setiap kali gue manggil lo, itu berarti gue lagi doa-in lo. Orang tua kasih nama anak juga sebagian dari doa nya kan?"

"Nah maksud gue tadi itu...gue akan bantu lo dengan doa, gimana?"

Aku menggigit bibir bawah. Dahiku mengerut dan tatapanku padanya jelas kesal. Aku pikir dia memang benar-benar ingin membantuku dengan latihan fisik atau yang lainya. Dan tidak terpikir olehku kalau dia akan mengatakan itu. Entah itu adalah ledekan atau emang maksudnya benar ingin mendoakan aku, tapi saat itu aku malah terima saja dipanggil dengan sebutan 'Tinggi'.

Betari dan Cerita 1 TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang