jangan lupa sambil dengerin laguu
selamat membaca...💓___💓
Tanggal 04 September aku resmi menjadi salah satu perwakilan anggota tim basket putri sekolah yang akan mengikuti Sakti Olympiad Cup pada tanggal 13 - 17 September di SMA Sakti Jakarta. Aku beritahu kabar gembira ini pada Mama, Uni Fay, Mbak, Abang, juga Mas Arka. Mereka memberiku semangat, kata-kata motivasi dari Mas Arka dan beberapa strategi yang Mbak dan Abang ajarkan padaku.
Jujur aku takut tidak bisa membawa kemenangan untuk mereka. Aku tidak ingin menjatuhkan harapan mereka terhadapku.
Dan benar saja, tim basket putri sekolahku sudah kalah di hari ketiga. Kami lemah dalam mempertahankan bola, apalagi lawan kami adalah orang-orang yang gesit. Empat orang di timku cedera. Termasuk Aqueen.
Setelah selesai evaluasi pertandingan, aku menghampiri Aqueen yang masih ditangani oleh beberapa petugas kesehatan.
Ketika aku hampiri, keadaan Aqueen jauh lebih membaik dibanding beberapa menit lalu. Di sebelah Aqueen, ada Ranu dengan kamera tergantung di lehernya. Sejak tadi ia tak melepaskan genggama tangannya dengan Aqueen. Terlihat sekali bahwa cowok itu khawatir dengan keadaan kekasihnya.
"Udah boleh balik, Tar?" tanya Ranu. Kemudian aku mengangguk.
"Kamu balik bareng aku aja ya, biar aku antar ke rumah," ucap Ranu pada Aqueen.
"Boleh."
"Betari pulang bareng anak-anak lain, ya?"
"Iya, Queen, nanti gue bareng sama yang lain. Sekalian nunggu anak cowok selesai. Lo pulang duluan aja, istirahat di rumah biar cepet pulih."
"Makasih, ya, Tar." Aqueen mengusap pundakku. Senyum di wajahnya terpancar, padahal anak itu baru usai menangis histeris ketika kakinya tak sengaja terinjak oleh tim lawan. "Muka lo jangan murung gitu dong, Tar. Kalah bukan berarti kita gagal, kita udah berjuang dengan baik sejauh ini, lo, gue, dan teman-teman lainnya itu udah memberikan permainan sebaik-baiknya, udah berusaha sebaik-baiknya. Sisanya Tuhan yang atur. Mungkin emang belum Rejeki aja."
"Tahun depan bisa kita coba lagi," lanjut Aqueen.
Bagi aku yang baru pertama kali ikut dalam pertandingan tentu sedih sekali jika kalah. Tapi aku juga tahu. Sebaik-baiknya aku berusaha pasti akhirnya ada di tangan Tuhan. Aku juga tidak boleh memaksa kehendak yang sudah ada, bukan?
Sampai di rumah, langit sudah berganti warna menjadi gelap. Aku membuka pintu lalu meletakan tas di atas sofa ruang tamu. Melepaskan sepatu dan meletakannya di rak sepatu belakang. Bang Langit, Uni Fay, dan Mama menatapku bingung di meja makan.
"Kenapa?" tanya mereka penasaran, sebab wajahku masih murung.
"Kalah," gumamku.
"Wow, selamat!" Entah itu ledekan atau yang lainnya, aku tetap tidak peduli. Mendengar kalimat itu aku jadi tambah murung. Dan berakhir ngambek. Masuk kamar. Dan menguncinya.
Di luar, Abang berteriak. Memaksaku untuk membuka pintu kamar. Aku tidak mau! Tadi meledekku, pasti sekarang juga mau meledek kekalahanku lagi. Aku tetap tidak mau membukakan pintu untuknya.
"Buka dulu dong! Jangan ngambek kayak anak kecil." Suara Abang teredam dari balik pintu.
"Aku enggak mau!"
"Buka!"
"Enggak!"
"BUKA! ABANG MAKSA! CEPET BUKA, DEK!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Betari dan Cerita 1 Tahun
Teen FictionDia mengulang kisahnya dalam sebuah tulisan.