Hari itu, aku menerimanya. Namun dengan syarat. Orang-orang tidak boleh ada yang tahu tentang hubungan kami. Sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan. Kami menjalani hubungan backstreet.
Aku berbohong kepada Mama kalau aku akan pergi malam minggu dengan Aqueen. Nyatanya aku akan pergi malam minggu dengan pacarku, Pradewa Ananta.
"Mau Mama tungguin sampai Aqueen datang?" tanya Mama yang ada di kursi pengemudi.
Aku menggeleng. "Enggak usah, Ma." Tidak lama, ponselku menerima sebuah pesan. Aku membukanya. Tentu dengan tidak terang-terangan. Aku menurunkan pencahayaan layar handphoneku. Membaca pesan masuk dari Dewa.
Kali itu pesannya memberitahu bahwa dia sudah sampai di tempat kami janjian. "Ma, Aqueen udah sampai. Adek turun, ya." Begitu pamitku kepada Mama. Aku salami Mama, mencium pipinya dan keningnya. Ya Tuhan, ini dosa yang aku perbuat kepada orang tuaku, aku harap aku akan segera mempublikasikan hubunganku dengan Dewa. Tapi aku tidak yakin itu kapan.
"Hati-hati, Dek."
Setelah itu aku lihat mobil yang dikendarai Mama menjauh dari hadapanku.
Aku dan Dewa memilih untuk janjian di suatu taman. Dewa memang tidak menjemputku langsung, walaupun cowok itu memaksa untuk menjemputku langsung ke rumah. Tapi aku tidak mau. Kalau begitu, seisi rumahku akan tahu kalau aku akan pergi dengan seorang remaja laki-laki. Jelas Mama akan melarangku pergi kalau tahu begitu.
Kulihat dari belakang, punggung laki-laki berkaos hitam. Ia mengenakan celana jeans pendek berwarna coklat. Rambutnya yang sedikit keriting terta rapi. Tapi aku rasa dia telah memangkas rambutnya. Dewa jadi terlihat semakin menawan. Ah, kalau begitu jangan sampai dia lihat tulisanku ini. Bisa-bisa dia terbang terlalu jauh atas pujianku.
"Jadi ini date pertama kita?" tanyaku dari belakang. Sengaja ingin membuatnya terkejut akan kehadiranku.
"Ya ampun. Aku kira siapa tadi." Ia memasukan ponsel yang ia genggam ke dalam saku celana. Tangannya merangkul pundakku. "Tadi diantar sama Mama?" Aku mengangguk. Kami sambil berjalan menyusuri taman yang saat itu langit sudah mulai mengganti warnanya menjadi hitam.
"Terus gimana, sampai bisa dapat izin?" Dapat izin untuk malam minggu maksud Dewa. Dia tidak tahu alasanku kepada Mama.
"Aku bohong sama Mama." Kami sempat diam tak bersuara.
Namun tidak lama....
"Aku minta maaf."
Aku menoleh ke arah Dewa. "Untuk apa?"
"Kamu jadi harus bohong sama Mama kamu."
Aku tidak menjawab ucapan Dewa lagi. Aku kembalikan fokusnya pada tempat yang akan kami tuju.
"Aku denger, malam ini ada pasar malam di dekat sini. Mau ke situ enggak?" tanyaku.
"Boleh."
Kami pergi ke pasar malam yang kusebut barusan. Ternyata ramai. Ramai sekali. Banyak pedagang kaki lima. Ada beberapa wahana bermain seperti di Dufan. Kulihat anak-anak kecil senyum semringah menikmati permainan di pasar malam itu. Ternyata ada banyak juga sepasang kekasih yang memilih untuk berkencan di pasar malam. Ini kelihatan menarik.
Aku langsung menarik Dewa mendekati permainan pancing ikan kolam balon. Itu ikan sungguhan. Dulu waktu aku kecil, aku sering pergi ke tempat seperti ini bersama Papa dan Abang. Memancing ikan ini salah satu permainan wajib tiap kali kami pergi ke pasar malam. Dan malam ini, aku ingin kembali bernostalgia dengan kenangan itu.
"Aku mau main ini," kataku bersemangat. Dewa tidak menolaknya. Ia justru menganggukiku dan meminta dua alat pancing dengan Abang-abang yang mengurus permainan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Betari dan Cerita 1 Tahun
Teen FictionDia mengulang kisahnya dalam sebuah tulisan.