Teman-temanku sedang sibuk membuat poster, tugas Bahasa Indonesia. Dari lima menit tadi, Bu Dian, guru Bahasan Indonesia, mempersilahkan kami untuk berkumpul dengan kelompok. Aku, Aqueen, dan tiga teman lainnya memilih duduk di pojok. Karton yang aku beli bersama Aqueen kemarin sudah terpotong menjadi beberapa lembar. Banyak kertas yang berserakan di bawah tempatku duduk, sebenarnya bukan hanya di tempatku saja. Bisa dibilang, lantai kelasku kini sedang dipenuhi oleh potongan karton dan kertas HVS. Tenang, pasti akan kami bersihkan kembali.
Mataku terpejam, lalu kembali membuka. Entah mengapa rasanya sangat berat untuk membuka mata. Mungkin karena semalam aku tidur terlalu larut. Selagi menunggu teman-teman menempel hiasan di karton, aku memilih untuk menidurkan diri sebentar di UKS. Eh, tapi kalian jangan berpikir bahwa aku tidak ikut kerja kelompok. Aku sudah membantu teman kelompokku memotong hiasan dan mememberi lem lalu menempelkannya di karton. Hanya tiga hiasan yang aku tempel sih, tapi tetap, kan, aku sudah membantu mereka. Lagi pula perjanjiannya juga kemarin aku dan Aqueen yang beli barang-barangnya sementara tiga teman lainnya yang bertugas menghias karton tersebut. Jadi, tidak ada salahnya jika aku tinggalkan.
Aku sudah pamit dengan kelompokku, terutama ketua kelompok, Anggun. Dan dia mengizinkanku. Terima kasih Anggun, memang tidak salah aku memilihmu menjadi ketua kelompok.
"Bu, saya izin ke UKS, ya. Sedang tidak enak badan," kataku pada Bu Dian yang sedang membolak-balikan buku nilai. Ia pun mengangguk. Aku rasa dia percaya ketika aku berbohong padanya, sebab wajahku saat itu tampak seperti orang sakit lalu suaraku juga sedikit parau. Maaf, Bu, aku berbohong. Ngomong-ngomong jangan tiru perbuatanku.
Aku menghela napas lega, lalu segera keluar dari kelas. Saat aku izin ke Bu Dian, beberapa temanku yang mendengar menatapku dengan tatapan seram. Pasti mereka tau kalau aku berbohong, tapi sejujurnya aku tidak peduli dengan orang-orang itu.
Mataku menatap halaman sekolah yang dipenuhi oleh pepohonan. Aku senang ketika melihat tanaman yang tumbuh dengan subur seperti ini. Tiba-tiba mataku jadi menyala menatapnya. Padahal saat di kelas tadi, pikiranku hanya ingin tidur, dan tidur.
"Betari." Aku mendengar suara orang berbisik memanggil namaku, namun setelah kulihat, tidak ada siapa-siapa. Kembali kulanjutkan langkah menuju UKS.
"Betari."
Lagi. Tetap tidak ada sosok nyata yang kulihat disekitarku. Sebelum memikirkan hal aneh, bulu kudukku sudah dulu berdiri. Tidak mungkin, kan, siang-siang bolong seperti ini ada setan. Tapi, apa yang tidak mungkin di dunia ini?!
Ah, apa benar yang memanggilku tadi...setan? Tidak! Kupastikan tidak!
Untuk kesekian kalinya aku menoleh. Memastikan bahwa sebenarnya ada seseorang dibelakangku. "Siapa-" Belum selesai aku berucap, seseorang dari sisi kanan sudah lebih dulu menarik lenganku dan membekap mulutku. Aku memberontak, kusikut perutnya, kuinjak kakinya, lalu kupukul dia sampai ampun-ampunan. Laki-laki macam apa dia sudah berani menyentuhku!
"Stop, Betari!" teriaknya yang masih belum bisa kuberi ampun.
"Ini Dewa!"
Dewa? Dasar gila!
Kenapa dia harus membekapku dan menarikku seperti ingin menculik. Dasar, bikin panik aja deh!
Segera kubantu dia untuk berdiri. "Sorry, gue enggak tau."
Dia terkekeh. Aku kira dia akan marah. "Makanya lihat dulu dong sebelum mukul."
Ih, kok malah kedengerannya mojokin aku sih?
"Lagian, lo kayak mau nyulik gitu," kataku kesal.
"Sorry, sorry. Kalau enggak gitu bisa-bisa ketahuan gue sama guru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Betari dan Cerita 1 Tahun
Teen FictionDia mengulang kisahnya dalam sebuah tulisan.