Bagian 6 : Jantung Selatan

34 3 0
                                    

Selamat membacaa
Jangan lupa sambil dengerin lagunya yaaa

💓💓💓
Seminggu sudah berlalu. Chatku dengan Dewa berakhir dengan ucapan belasungkawa. Seminggu pula Dewa tidak masuk sekolah. Rasa sepi bagiku. Tujuh hari yang aku jalankan terasa begitu membosankan. Entah mengapa, dengan kehadiran Pradewa di sisiku rasanya hari-hariku lebih berwarna.

Setelah pesan dari Dewa waktu itu aku tidak langsung jawab. Aku jawab saat pagi. Tapi sebenarnya sudah aku baca. Semalaman aku tidak bisa tidur, memikirkan Dewa. Aku tahu ini sangat berat, pasti dia terpukul sekali. Ketika aku ingin ikut dengan Aqueen melayat ke rumah Dewa, Mama tidak mengizinkan. "Jangan dulu, ya. Kamu bantu dengan doa aja. Ikut baca yasin dari rumah." Saat itu aku harus membantu pemulihan Uni Fay dan juga menjaga bayinya. Dan jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada Uni Fay maupun bayinya, aku juga yang akan merasa bersalah.

Serba salah pokoknya. Hingga hari itu aku memutuskan untuk tetap di rumah.

"Gue ke toilet dulu ya."

Kami berhenti di depan toilet murid perempuan. Sembari menunggu gadis itu kembali, aku bersandar pada dinding. Menghela napas panjang.

"Dewa bilang dia nggakpapa kok, Tari."

"Katanya juga lo jangan khawatir."

Ranu selalu menjadi tempat informasi utama mengenai Dewa. Aku baru tau jika ternyata hubungan dua orang itu cukup baik, berbeda dengan hubungan Ranu dengan sebagian anak di sekolah.

Selama seminggu ini Ranu bolak-balik menemui Dewa. Dan katanya cowok itu sedang tidak memegang ponsel, itu sebabnya dia tak menghubungiku. Dan juga sebabnya aku tidak menghubunginya balik. Percuma juga, toh, dia tidak akan membaca chatku langsung.

Aku menghembuskan napas panjang lagi. Kulipat tangan di dada.

"Kapan katanya dia masuk?"

Ranu menggeleng. "Enggak tau."

Itu bukan jawaban yang aku mau!

Kami sama-sama diam, tidak ada yang Ranu sampaikan lagi mengenai Pradewa. Setelah jawaban terakhir Ranu. Aku lebih dulu melangkah ke kelas. Meninggalkan Ranu dan juga Aqueen yang belum keluar dari toilet. Bertepatan dengan waktu istirahat yang sebentar lagi akan berakhir.

Di hari selanjutnya, aku masih menjadi gadis tak bersemangat. Melakukan aktivitas seperti biasanya namun tanpa senyum. Wajahku selalu tertunduk malas. Beginilah jadinya aku tidak ada seorang Pradewa Ananta di sisiku. Kenapa aku harus menjadi seperti ini. Kenapa aku terlihat membutuhkan dia, padahal tanpa dia aku tetap bisa menjalankan hari-hari seperti biasa. Kenapa aku menginginkan dia selalu ada di sisiku? Seakan aku dan dia adalah dua insan yang harus selalu terikat.

. . .

"Kamu kayaknya enggak niat belajar, ya?!"

"Dari 20 soal hanya benar 1?"

"Saya sudah ajarkan materi ini loh! Bahkan selalu saya ulang-ulang!"

Manusia yang sedang dimarahi itu aku. Nilai ulangan Matemajika Wajibku 5. Ibu guru kaget, aku pun kaget. Aku sudah percaya diri sekali mengerjakannya. Ternyata nilaiku berakhir jelek.

"Maaf, Bu."

"TIDAK ADA MAAF!"

"Saya tidak perlu maaf kamu, yang saya inginkan kamu bisa memahami materi. Dari ulangan ini sudah terbukti bahwa kamu sama sekali tidak memahami materi yang saya jelaskan!"

"Saya kecewa loh, bener deh. Jadi selama ini kamu ngapain aja di kelas? Tidur? Makan? Iya? Kamu emang tidak menghargai saya sebagai guru ya?!" Aku diam. Jelas aku mendengarkan jika guru sedang menerangkan materi. "Jawab!"

Betari dan Cerita 1 TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang