06. Suara di Kegelapan Malam

386 24 1
                                    

Hari ini Kimmy mulai diperkenalkan ke perangkat desa, juga dibawa ke satu-satunya paguyuban kesenian yang dimiliki Desa Gayam.  Ternyata semua diperkenalkan padanya rata-rata telah sepuh.  Bukan hanya perangkat desa atau pejabat yang bertugas di desa ini, para penari dan pelakon seni lainnya juga kebanyakan telah berumur.  Hanya ada beberapa gelintir yang masih kecil atau remaja, termasuk Dini, anak Pak Lurah.

            “Apa hanya sejumlah ini penari di desa kalian?” bisik Kimmy pada Dini.

            Dia melakukannya sambil tersenyum canggung pada lima orang yang tengah menatapnya takjub.  Mungkin mereka mengira Kimmy adalah boneka, berkat rambut coklat kepirangan gadis itu, juga mata biru cerahnya.

            Dini mengangguk.  “Mereka penari, juga sinden, juga yang lain.  Pokoknya bisa semuanya, Kak Kimmy,” jelas Dini.  Gadis cilik ini sangat cerdas untuk seusianya.

            Kimmy merasa trenyuh.  Dulu Desa Gayam sangat tersohor, bahkan legendaris, karena kesenian tari ronggeng yang fenomenal.  Tapi kini ... parah sekali!  Seakan ada hanya sekedar formalitas.  Hidup tidak, mati segan.  Kimmy bertekad menghidupkan kesenian tari di desa ini!

            “Baiklah, tak masalah.  Dari sedikit kita akan berkembang menjadi hebat!   Kalian pasti mau, kan, kesenian tari di desa  ini kembali terkenal?” tanya Kimmy antusias.

            Dia menghela napas panjang.  Boro-boro menjawab antusias keinginan maju bersama, mereka malah menatap bengong Kimmy.  Seakan tak paham maksud gadis itu.  Beberapa malah bingung memegang rambut Kimmy.

            “Mbak, rambute niki asli?   Apa diwarnai kanggo kunyit?” tanya seorang perempuan gendut berkulit hitam manis.  Namanya Linduk, dia berusia 26 tahun.  Di desa, usia segitu sudah dianggap perawan tua.

            Kimmy tersenyum rikuh.  “Asli, Mbak.  Dan ini rambut, bukan jajan yang bisa diwarnai dengan kunyit.”

            Linduk ternganga, takjub.  Dalam hati, dia telah menjadikan Kimmy sebagai idolanya.  Dia menganggap Kimmy titisan bonekanya yang dulu hilang, terbawa aliran sungai.
           
==== >(*~*)< ====
 
 
            Malamnya, saat makan bersama keluarga Pak Lurah, Kimmy diberondong pertanyaan dengan kegiatannnya hari ini.
            “Jadi, apa Nak Kimmy suka paguyuban kesenian di desa kami?”            tanya Bu Pertiwi, istri Pak Lurah Sudarsono.
            “Saya belajar menyukai apa yang menjadi tugas saya, Bu.   Tapi puas belum.  Saya ingin kesenian tari di desa ini kembali semarak.”  Kimmy mengucapkannya dari dalam hatinya yang tulus.  Semua bisa melihat hal itu.
            “Kak Kimmy hebat hari ini.  Kami semua diajari tarian baru.  Bagus!  Ndak seperti yang lalu.  Tarian cuma satu, wes gitu jelek lagi,” timpal Dini.
            Pak Lurah mengangguk puas.  Tak salah dia mengizinkan gadis ini melakukan penelitian tugas akhir disini.  Kehadirannya membawa hawa segar di desa ini.  Semoga paguyuban kesenian di desanya bisa kembali bangkit.
            “Saya senang Nak Kimmy betah disini dan berniat memajukan kesenian kami.  Tapi Nak, masih ada kesenian lain selain tari.  Ada ludruk, nyanyi, gamelan, wayang, dan yang lain.  Tolong Nak Kimmy jangan hanya fokus pada tari.  Dan satu hal lagi, bukan tari ronggeng.  Tarian itu dilarang di desa kami, Nak.  Masih ingat, kan?”
            Kimmy mengangguk lesu.  Dia hanya diberitahu bahwa tari ronggeng dilarang, namun tak ada alasan penyebab larangan itu.  Dia bertekad akan mendapatkan jawaban atas larangan itu!
            Dan tanpa setahu mereka, gerakan tari sederhana yang diajarkannya di paguyuban kesenian tadi adalah dasar gerakan tari ronggeng!
 
==== >(*~*)< =====
 
            Tengah malam, Kimmy terbangun karena tenggorokannya terasa kering.  Dia keluar dari kamarnya untuk mengambil minuman di dapur.  Dapur rumah tempatnya tinggal sementara ini terletak di paling belakang.  Di sebelahnya ada halaman luas, yang lebih mirip kebun tak terawat. 

41. MISTERI NYAI RONGGENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang