"Yaudah, aku bersih-bersih bagian ranjang, terus kamu sisanya, ya."
Febriko sudah mulai menarik ujung-ujung seprai putih UKS, merapikannya. Sementara itu, Vero sejak tadi masih terbengong-bengong di depan kotak P3K yang ada di sudut ruangan. "Ini kenapa isinya minyak kayu putih semua, deh." Ia tak menggubris perintah Febriko, justru asyik memperhatikan deretan minyak kayu putih yang terpajang di dalam kotak. Ada yang isinya masih penuh, tiga perempat, setengah, dan sisanya, kosong.
Febriko tak menghentikan aktivitasnya, kini ia menepuk-nepukkan dua bantal sehingga debu-debu yang termuat di dalamnya pun beterbangan. "Ya karena penyakit cewek SMA kan paling cuma pusing sama sakit perut, apalagi kalau pas upacara, beeeh! Udah kek pengungsian imigran gelap ini UKS."
Vero sontak menyemburkan tawanya. "Imigran gelap," ia bergumam menirukan kata-kata Febriko barusan, kemudian tertawa lagi.
"Ambil sapu, gih," Febriko mengingatkan tugas Vero.
Gadis itu segera beranjak dari tempatnya, kemudian mengerjakan apa yang menjadi perintah Febriko. Aneh, ia lupa sejak kapan tubuhnya sudah tidak lemas lagi dan perutnya sudah tidak mengumandangkan azan maghrib lagi (baca: minta buka puasa). Mungkin kehadiran Febriko telah berhasil menjadi stimulus energi bagi jiwa raganya saat ini.
Ah, ngaco.
"Btw, nanti kamu mau part time lagi di RM Calya?"
Pertanyaan itu membuat aktivitas Vero terhenti. Ia lupa, kakak kelasnya yang satu ini sudah tahu perihal pekerjaan sambilan yang ia lakukan setelah pulang sekolah. Padahal, ini belum genap seminggu sejak masuk sekolah baru. Misinya untuk menjadi siswa biasa-biasa saja dan invisible kini terancam gagal.
"Kenapa kamu kerja di sana? Buat isi CV apa gimana?"
"Hmmm, enggak sih, Kak. Mmm, pengin aja."
Febriko mengangguk-angguk, "Keren juga anak kelas satu SMA udah punya kepenginan buat kerja. Tapi apa boleh? Bukannya anak di bawah umur enggak boleh dipekerjakan, ya? Atau itu yang punya saudara kamu?"
Ternyata cowok ini tidak sekalem dan se-cool tampangnya. Vero mendesis dalam hati, kepo banget, deh. "Ya, gitu deh pokoknya, ehehehe."
Sebenarnya, ada hal yang lebih-lebih penting lagi, yang lebih-lebih ingin Febriko tanyakan pada gadis itu. Mumpung timingnya tepat. Tapi rasanya, itu bukan pertanyaan yang pantas untuk ditanyakan sekarang, mengingat mereka baru saling mengenal selama beberapa hari saja. Febriko pun kembali menelan pertanyaan yang sudah berada di pucuk lidahnya itu.
Entah kenapa juga, meskipun baru beberapa kali berinteraksi dengan Vero, cowok itu merasa sudah mengenalnya sejak lama. Ia tidak percaya dengan adanya kehidupan sebelum kematian dan sesudah kematian. Jadi, yang ia rasakan sekarang ini, entah apa namanya. Yang jelas, Febriko seperti pernah mengenal Vero bahkan jauh-jauh hari sebelum mereka pertama kali bertemu di SMA Global Tunisia Tahuna ini.
Tiba-tiba, sekelebat bayangan melintas dalam ingatan Febriko. Rambut sebahu berwarna cokelat, mata bulat yang menyipit karena tertawa, bibir tipis yang selalu melemparkan candaan-candaan konyol, suara cempreng yang selalu meneriakkan namanya di sore hari untuk mengajak Febriko sepedaan, kulit sawo matang, caranya marah, caranya tersenyum, caranya--aakkhhh. Setelah bertahun-tahun lamanya, ternyata ingatan itu masih saja bertengger dalam kepala Febriko.
Apakah ingatan itu yang membawa Febriko ke sini? Ke UKS bersama seorang siswi baru yang bahkan baru dikenalnya beberapa hari yang lalu itu? Karena mereka memiliki kesamaan?
"Kak, udah aku sapu semua. Enggak ada kecoa terbangnya HAHAHAH, aman, Komandan!"
Enggak, enggak. Suaranya beda. Mereka dua orang yang berbeda. Febriko menggeleng-gelengkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEGIN
Teen FictionSemuanya bermula dari sini, dari belakang panggung MOS SMA Tunisia Global; "Kenapa? Pasti hepi banget ya, bisa jadi anak SMA?" Veronica menoleh dan terbelalak, sedetik kemudian ia mengutuk bibirnya sendiri atas senyumannya tadi, "Eh, anu. Iya kak, h...