Panas.
Lapar.
Panas.
Lapar.
Lapar...Kruyuuuk...
Veronica mengernyit, memegangi perutnya. Di depan sana, rombongan kelompok MOS-nya sudah berjalan jauh, melihat-lihat area taman baca SMA Tunisia, dengan dipandu oleh seorang kakak kelas. Yang pasti bukan Febriko. Namanya Kak Dinda.
"Kenapa? Enggak suka keliling-keliling atau lagi sakit? Bisa aku anterin ke UKS kalau mau."
Suara itu berdengung lebih keras ketimbang lapar di telinga Veronica. Gadis itu meneguk ludah. Febriko sudah ada di sampingnya, seperti penguntit yang sudi mengikutinya kemanapun dia pergi. Baru juga dipikirin...
"Eh, Kak Febriko..."
"Kak Feb! Sini dong!" seorang peserta MOS lebih dulu menggeret-geret lengan Febriko dengan paksa, menyuruh cowok itu untuk kembali ke barisan mereka. "Kak, jelasin dong itu ruangnya apa aja...," dengan manja, cewek itu menempelkan sebagian badannya pada Febriko.
Veronica mendelik. Demi perut kosong yang isinya cuma arem-arem, itu cewek gatel banget, sih!
Ia memberanikan diri untuk melangkah ke depan Febriko. "E-ehm," setelah berdeham, perhatian Febriko dan cewek peserta MOS itu teralihkan sejenak kepadanya.
"Kenapa, Dek?"
"Aku sakit, Kak...," Veronica berusaha memasang wajah semelas mungkin–walaupun tanpa berusaha dia sudah memiliki wajah seperti itu–sambil memegangi perutnya, "Perutku perih rasanya..."
"Alah, alasan! Ya namanya orang lagi puasa mesti, lah, perutnya perih! Gimana, sih." Desis cewek yang masih bergelantungan di lengan Febriko.
Febriko berusaha membebaskan tangannya dari cewek itu. "Yaudah, biar aku anter ke UKS."
Kepada rombongan peserta MOS yang dipandunya, Febriko undur diri. "Maaf, kalian sama Kak Dinda dulu aja, ya... Kakak mau anter teman kalian ke UKS dulu."
Seruan-seruan jengkel bin kesal pun memenuhi telinga Veronica. Cewek itu sendiri masih tak habis pikir, kenapa berani-beraninya dia terlihat lemah di depan Febriko. Berani-beraninya menunjukkan wajah memelas dan kesakitan di depan cowok yang baru dikenalnya kemarin sore itu. Berani-beraninya berusaha mengusir cewek kegatelan yang bergelantungan di lengan Febriko tadi. Whyyy? Batinnya frustrasi.
Karena kemarin Febriko boncengin pulang ke rumah? Ah, enggak, enggak! Ngaco. Cuma kebetulan. Ah, mungkin ini akibat dari gizi buruk yang dia dapat akibat cuma mengonsumsi arem-arem buat berbuka puasa sekaligus sahur. Ya.
"Kamu nggak papa, kan?" Febriko bertanya dengan tangan kanan memasukkan kunci untuk membuka pintu UKS dan tangan kirinya, yang entah sejak kapan, merangkul pundak Veronica. Memapah.
Kehangatan yang diberikan dari lengan cowok itu memberikan sinyal kuat kepada otak Veronica untuk memompa darah lebih kencang lagi. Dia merasa seperti ada paku-paku gaib yang menahan gerakan tubuhnya. Sempurna mematung. Lagi-lagi, cowok itu menyihirnya.
Jangan-jangan dia muridnya Lord Voldemord.
"Ayo, masuk." Veronica gelagapan. Kembali ke alam sadar.
Ruang kesehatan itu kosong melompong. Kedatangan mereka berdua hanya disambut oleh kotak P3K, baskom dan alat kompres, serta selimut-selimut dan seprai putih yang terbentang pada ranjang-ranjang UKS. Wangi aromaterapi menggelitik hidung Veronica.
"Kamu mau apa? Aku pesenin teh anget di kantin atau gimana? Masih kuat nggak buat ngelanjutin puasanya?"
Febriko memapah Veronica ke salah satu ranjang setelah menyingkap gorden yang menjadi sekat antara ranjang satu dengan yang lainnya. Veronica segera berbaring di kasur dan merasakan perih di perutnya semakin menjadi-jadi, membuatnya tanpa sadar mengeluarkan rintihan kecil. "Aduh...."
"Eh." Febriko mengulurkan satu tangannya, tapi kemudian gerakannya terhenti di udara. Sekejap lagi dia mengurungkan niatnya. Kikuk. Bingung mau bagaimana. Dia merasa bukan siapa-siapa. Tidak berhak berbuat apa-apa. Hanya sebagai kakak kelas, yang mendampingi adik kelasnya untuk mengikuti kegiatan MOS.
Veronica yang sadar akan kondisi segera membuka mulut. Menetralkan situasi. "Aku nggak papa... Kakak terusin aja tur MOS-nya. Pasti yang lain nunggu...,"
Tapi jangan. Temenin aku di sini aja plis. Hampir saja kata-kata itu meluncur dari mulut Veronica, tapi ia buru-buru menahannya dalam kerongkongan. Menelan kembali.
Febriko terdiam. Suasana menjadi canggung. Dua insan manusia sedang terperangkap dalam keambiguan perasaannya masing-masing.
"Aku–"
"Aku–"
Dan ketika hendak mengucapkan kata-kata, keduanya malah bertabrakan saat hendak menyampaikannya.
"Eh, Kakak dulu aja. Gimana?"
"Kamu dulu aja, tadi mau ngomong apa?"
"Eng-gak, kakak dulu aja. Pasti lebih penting."
"Serius, kamu dulu. Lady first. Apa?"
"UDAH MENDING GUE DULUAN YANG NGOMONG," pintu UKS terbuka dengan sedikit kasar, seorang cowok beralmamater OSIS dengan kacamata berfrem cokelat masuk dan berjalan dengan langkah lebar-lebar ke arah mereka. Arka. Sang Ketos.
"Lo ngapain woi malah di sini? Bukannya mimpin tur malah berduaan sama adek kelas di UKS. Gimana, sih?!"
"La-lagi sakit men."
"Lha kan kita punya PMR. Jadwal piket UKS juga ada. Ngapain ribet-ribet, si! Buru, keluar!"
"I-iya, iya... Iya!" Febriko beranjak sambil tangannya menggaruk-garuk tengkuk yang tak gatal.
Kedua alis Arka sudah hampir menyatu saking jengkelnya. Cowok itu menjumut bagian belakang almamater Febriko, seperti ingin membuang tikus yang tertangkap basah sedang mencuri bandeng di dapur.
Veronica mengubah posisinya menjadi duduk dan hanya bisa mengamati prosesi pengusiran itu dengan wajah sungkan campur geli. Bingung mau berkata atau berbuat apa. Bagaimanapun juga ini kesalahannya. Seharusnya jika dia benar-benar sakit, tidak perlu menunggu Febriko bertanya, cukup pergi secara diam-diam ke UKS. Tapi sudah terlanjur...
"Eh, elu, eh, Dek," Arka menoleh pada Veronica. Nadanya melunak. "Kalo ada apa-apa panggil yang jaga UKS hari ini. Di samping ruangan ini, kok. Oke?"
Veronica mengangguk patah-patah, "O-oke, Kak. Makasih..."
Febriko sempat menoleh padanya, dengan ekspresi yang sedikit kesakitan karena kerahnya ditarik dengan keras oleh Arka sampai mencekik leher; pria itu tersenyum kecil. Agak kaku, tapi seperti berkata: "Aku pergi dulu ya. Baik baik di sini."
Oh, itu mungkin khayalan Veronica saja. Memang, cewek itu kebanyakan berekspektasi sampai kadang lupa diri dan kondisi.
Sadarlah, Ver!
***
YA. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya dapat menyelesaikan cerita ini, maka, alhamdulillah, bisa kembali update!
PFFFFT.Tertunda, eh Tertanda,
Klaten, 12 April 2018
Atas nama Lagi Rajin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEGIN
Teen FictionSemuanya bermula dari sini, dari belakang panggung MOS SMA Tunisia Global; "Kenapa? Pasti hepi banget ya, bisa jadi anak SMA?" Veronica menoleh dan terbelalak, sedetik kemudian ia mengutuk bibirnya sendiri atas senyumannya tadi, "Eh, anu. Iya kak, h...