***
Agenda hari ketiga MOS SMA Tunisia Global Tahuna adalah upacara, dilanjut dengan seminar-seminar, dan yang terakhir ialah pembagian kelas. Hari ini, Vero yakin ia bisa kembali menjadi murid baru yang invisible. Karena untuk menjadi seperti itu, syarat dan ketentuan yang berlaku hanyalah satu: tidak bertemu dan berinteraksi dengan Kak Febriko. Bismillah bisa, batin Vero. Meskipun di sisi lain, ia juga tak bisa menampik kenyataan bahwa dengan berada di dekat cowok itu, entah mengapa ia menjadi merasa lebih tenang, aman--seperti bayi dalam gedongan--serta ... nyaman.
Bahkan, saking nyamannya, sejak pulang sekolah kemarin, memori tentang bagaimana Febriko menyerahkan dasi hingga menggenggam tangannya untuk mengusap sisa air mata yang ada di pelupuk matanya, masih bertengger dengan nyaman di dalam kepala gadis itu. Hal ini tentu menjadi kerikil baginya dalam menjalani aktivitas. Ketika sedang sibuk mengantarkan pesanan di tempat kerja part time-nya, RM Calya, entah apa yang salah dengan matanya sehingga sekelompok pelanggan yang ada di depannya mendadak berwajah sama seperti Febriko semua. Bahkan, salah satu di antaranya ada yang berkata, "Semoga aku bisa menjadi mimpi indahmu."
Aku pasti udah gila ...
"HEH! Baris yang bener! Sikap sempurna! Jangan lembek kayak mendoan!"
Ultimatum dari seorang kakak kelas menyentak Vero dari lamunannya. Senioritas telah tiba. Gerombolan siswa kelas sebelas dan dua belas yang memakai PDL OSIS memutari lapangan dengan mata sinis sambil sebelah tangannya menggenggam gulungan kertas absen yang dipukul-pukulkan ke sebelah tangannya yang lain.
Meskipun sudah terbiasa dengan tradisi senioritas seperti yang ia rasakan saat ini, sebenarnya Vero masih mempertanyakan esensi dari teriakan-teriakan kakak kelas yang katanya bertujuan untuk menertibkan, membangun rasa disiplin, serta meningkatkan rasa hormat kepada kakak kelas oleh para murid baru. Menurut pengalaman dan analisis pribadi, Vero merasa senioritas hanyalah ajang untuk unjuk gigi 'ini loh gue kakak kelas lo yang kece dan harus lo segani!' juga balas dendam atas senioritas yang pernah mereka dapatkan di tahun ketika mereka menjadi junior. Ya, semacam lingkaran setan. Siklusnya tak akan pernah terputus sebelum salah seorang anggota yang vokal dalam hierarti organisasi tersebut menyuarakan ketidaksetujuannya; itu pun kalau rekan-rekannya yang lain juga sama-sama setuju.
"Kak, Kak! Ada yang mau pingsan!"
Tiba-tiba, sebuah suara melengking berteriak dari barisan di belakang Vero. Seorang gadis berkuncir kuda melambai-lambaikan tangan dengan cemas, sedang seorang teman di sampingnya tampak sudah terduduk lemas. Wajahnya pucat pasi, dengan bibir yang kering dan pecah-pecah. Keringat dingin mengaliri lehernya, turun dan membasahi kerah seragam SMP-nya.
Vero mengernyit, apa dia cuma sahur arem-arem sama puding doang kayak aku kemarin? Gadis itu mendiagnosa dalam hati. Ah, nggak lah. Kemudian menyangkalnya sendiri.
"Mana, mana?"
Suara itu tak asing lagi di telinga Vero. Ketika gadis itu menoleh, benar saja ... tepat seperti dugaan, walaupun itu bukan hal yang ia harapkan ... Febriko datang. Lengkap dengan PDL yang ditekuk selutut dan rambut yang berkibar-kibar bebas karena tertampar angin dengan keras, ia menghampiri siswi baru yang tampaknya otw pingsan itu dengan setengah berlari. Tak hanya Vero, tapi juga ciwi-ciwi yang melihat adegan tersebut, seketika terpana dan terpesona. Ini dia, the power of kakak-kakak OSIS, atau the power of orang tampan, atau the power of--sepertinya Febriko memungkinkan untuk memiliki semua power yang membuat kaum hawa klepek-klepek.
"Anjir gans banget gila kayak Jungkook," bisik gadis di samping Vero.
Vero menoleh, "Hah? Ju ... Jungkook? Jeon Jungkook?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BEGIN
Подростковая литератураSemuanya bermula dari sini, dari belakang panggung MOS SMA Tunisia Global; "Kenapa? Pasti hepi banget ya, bisa jadi anak SMA?" Veronica menoleh dan terbelalak, sedetik kemudian ia mengutuk bibirnya sendiri atas senyumannya tadi, "Eh, anu. Iya kak, h...