2.3 (RAHASIA)

77 13 1
                                    

"Veronica?"

Suara itu sukses mengacaukan Veronica, yang sejak tadi berusaha membungkus kegugupannya di balik kemeja putih kebesaran milik rumah makan tempatnya kerja paruh waktu.

Veronica mengangkat kepalanya dengan susah payah, seperti ada karung beras yang menimpuk tengkuknya sampai-sampai kepalanya tidak bisa terangkat untuk menatap mata... Febriko. Atau sesungguhnya mata Febriko yang membuatnya tidak bisa berbuat banyak, kecuali menatap ubin dan berharap ia bisa segera pergi dari tempat ini?

"Kamu kerja di sini?" tanya Febriko.

"Eh-um," Veronica mengangguk sekilas dan segera meninggalkan tempat dimana OSIS SMA-nya menggelar acara buka bersama.

Febriko mengangkat sebelah alisnya, "Veronica itu... kayak dia," gumamnya.

Di kepala Febriko, terlintas lagi kenangan-kenangan masa kecil bersama seorang gadis kecil, lugu, kulitnya halus, dan rambutnya wangi shampoo lidah buaya. Cowok itu menggeleng dan menghela napas, berusaha menghilangkan proyektor masa lalu yang terus berputar di atas kepalanya.

"Gimana, Bo?" Dea menyela lamunan Febriko.

Febriko menoleh ke seberang mejanya. Dea sedang mengaduk-aduk es teler sambil manik matanya lekat menatap Febriko, menunggu jawaban yang cowok itu saja tidak tahu apa pertanyaannya.

"Terserah aja ah," Jawab Febriko asal, sambil menyalurkan minuman yang diletakkan pelayan rumah makan--eh, maksudnya... Veronica--di dekat tempatnya.

"Oh, yaudah, berarti besok acara MOS nya kirim surat cinta ke kakak OSIS ya? Acie... Pasti kamu bakal dapet dari yang kemarin itu. Siapa itu? Yang lari pas lagi ngobrol berdua sama kamu itu loh... Haha."

Febriko mengerjap. "Apaan?" ia baru sepenuhnya memerhatikan Dea setelah mendengar kata-kata "surat cinta".

"Apaan tadi?" ulangnya.

"Kemana aja sih Kampret-ku?" sahut Arka, menepuk bahu Febriko keras, "Jadi besok pagi itu peserta MOS bakal kita ajakin keliling sekolah, terus dikumpulin di depan pohon beringin di lapangan belakang buat nulis surat cinta ke kita. Asyik, kan? Ide gue nih."

Febriko siap melayangkan pisau steak yang ada di depannya kepada Arka. Apanya yang asyik?

"Idemu enggak ada yang lebih berfaedah lagi?"

Arka menatap Febriko dengan tatapan konyol, lalu tertawa sebentar. Sebelum sempat membalas pertanyaan, yang lebih terdengar seperti ejekan dari rekannya itu, Adzan maghrib berkumandang. Membuat semua orang yang menunggu waktu berbuka puasa menghela napas lega.

"Udah, deh... sana, pimpin doa, gih," Arka menyenggol bahu Febriko.

Febriko menolak, "Enggak bisa."

"Bismillah aja gitu," Arka memaksa. Tidak sabar mengeksekusi es teh manis yang ada di depannya.

Febriko mendengus, kemudian mulai mengadahkan tangan di depan dadanya, membuat anak-anak yang lain mengikuti, dan membaca basmallah diikuti dengan doa buka puasa.

"Aamiin."

Tangan Febriko sudah terangkat untuk mengambil es susu vanila ketika ekor matanya tak sengaja melihat sebercak cairan merah di tepi piring steaknya. Febriko refleks mengambil tisu dan menyeka cairan itu, lalu mencium aromanya sekilas, untuk kemudian tau bahwa itu darah.

Cowok itu terdiam sesaat di tempatnya.
***

"Dicuciin itu piring-piringnya."

Mbak Ninik menyerahkan segudang cucian pada Veronica yang baru saja masuk ke dalam dapur rumah makan, masih tempatnya bekerja.

BEGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang