7 (SURAT CINTA)

13 1 0
                                    

"Oke, deal, ya?" Mbak Rina mengayunkan sebelah tangannya dengan antusias di depan Febriko. Mereka baru saja menyelesaikan sebuah kesepakatan rahasia, yang akan kita ketahui bersama nanti di akhir cerita.

Febriko mengembuskan napas berat, menggaruk tengkuk. Sesaat menyesali keputusan impulsifnya. Ia sendiri merasa aneh dengan tindakannya akhir-akhir ini; rasanya seperti otak dan instingnya tidak sinkron. Ia sering kelabakan sendiri menghadapi perilakunya beberapa hari belakangan. Tapi ya, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur.

Ia menyambut uluran tangan Mbak Rina, "Deal."

Mbak Rina tersenyum lebar. Ujung bibirnya tertarik dari telinga kiri hingga ke telinga kanan. Sesaat kemudian, ia pun membukakan pintu UKS, menggerakkan tangannya seolah-olah memberikan sambutan hangat kepada Febriko.

Febriko masuk.

Mbak Rina membatalkan senyumnya, buru-buru menarik ujung seragam Febriko dan berbisik cepat tepat di depan telinga cowok itu, "Jangan macem-macem! Dia kayaknya masih trauma sama kamu."

Febriko hanya bisa mengangkat bahunya sekilas, entahlah. Ia sendiri juga enggak ngerti, kenapa gadis itu bisa sampai memimpikan dan meneriakkan namanya.

Pintu UKS kembali tertutup. Mbak Rina pergi.

Kini, selain kotak P3K dan baskom dan ranjang dan sprei dan gorden UKS yang nampaknya sudah lama tidak di-laundry--ada Veronica dan Febriko di sini.

-0-

Veronica masih berusaha menetralkan degup jantungnya yang berpacu dengan tidak waras. Ya, sekarang ia merasa sinting. Di dalam kepalanya, adegan ketika Febriko menjerumuskan Veronica dari atap sekolah masih secara detail terputar. Dan kata-kata itu ... Cewek goblok. Cewek goblok. Cewek goblok.

"Ver..."

Suara itu!

Veronica memejamkan mata, menahan napas, dan berusaha menenangkan diri sendiri. Ia berusaha menghilangkan halunisasi suara Febriko yang entah bagaimana caranya benar-benar terdengar nyata dan masuk ke gendang telinganya. Apakah efek dari hanya makan arem-arem dan puding untuk buka puasa sekaligus sahur benar-benar semengerikan ini? Kalau iya, tentu Veronica akan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya lagi. Ini yang terakhir kali.

"Ver, kamu enggak papa?"

Veronica terbelalak. Febriko benar-benar mewujud di depannya.

"Eh-ha? Ka-kak, Kak Febriko?" Ia mengerjap. Ini asli, bukan mimpi.

"Iya, aku. Kamu udah sadar? Katanya Mbak Rina tadi mmm kamu mmm mimpi buruk, ya?"

Febriko, dengan gerakan yang amat sangat hati-hati dan sepelan ucapannya barusan, duduk di tepi ranjang. Entah kenapa tiba-tiba ia berpikir kalau fasilitas UKS di SMA-nya ini sungguh memprihatinkan. Bisa-bisanya tidak ada kursi untuk penjenguk? Besok-besok ia harus segera melaporkan hal ini ke pembina OSIS-nya agar segera ditindaklanjuti.

"Mmm, iya, enggak, iya ... tadi. Sekarang udah baikan, kok."

"Kenapa? Mimpiin ... aku?" Febriko menunjuk ke arah dirinya sendiri, kemudian merasa kikuk. Ia tertawa, "HAHAHAHA pasti aku ngangenin banget, ya?" Berusaha mencairkan suasana.

Tapi gunung es yang ada di antara mereka justru semakin mengeras. Kata-kata "ngangenin" yang barusan terucap dari mulut Febriko benar-benar out of the box; tak ada dalam daftar rencana kata-katanya. Dan, barusan terlontar begitu saja. Bencana.

Veronica terdiam di atas ranjangnya. Bingung harus menanggapi bagaimana. Antara malu, jengkel, dan kesal. Tapi, dua perasaan terakhir itu enggak seharusnya ditujukan ke Febriko, kan? Bagaimana pun, cowok itu pasti juga enggak ada rencana buat muncul di dalam mimpinya; bahkan mencelakakannya.

BEGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang