2.2 (RAHASIA)

92 17 5
                                    

'Ketuk di sini untuk mulai menulis.'

---
Veronica meregangkan urat-uratnya yang tegang, sekali lagi, dan memeluk lutut, sekali lagi; memandangi layar laptopnya dengan tatapan kosong.

Sebagai penulis Wattpad, Veronica tidak bisa membiarkan pembacanya menunggu untuk waktu yang cukup lama, apalagi hari ini jadwalnya untuk publish part baru. Tapi, alih-alih sudah menulis satu paragraf, Veronica bahkan belum sempat memikirkan ide yang bagus untuk kelanjutan ceritanya.

Kling!

Muncul notifikasi.
Pesan dari salah satu pembacanya.
____________________
Puputszz
qq koq critax blm update shh, aku dh nungguin loh.,
____________________

Veronica menggigit bibir bawahnya. Sebentar lagi, pasti pesan-pesan serupa akan memenuhi dinding percakapannya.

"Aduh, mau nulis apaan nih..."

Veronica membaca ulang part terakhir yang ia publish. Kemudian, karena menyerah, karena kepalanya benar-benar tidak bisa berpikir, karena tubuhnya sudah terlalu lelah, akhirnya ia menulis sebuah bab baru berjudul: PENGUMUMAN.

__________
Maaf ya temans semua, hari ini aku capeee banget capenya kuadrat, gara-gara aku kan hari ini MOS tuh ditambah lagi ini kan bulan puasa, jadi yaaa mohon pengertiannya ya semua🙇🙇🙇
Janji deh part berikutnya bakalan aku tulis lebih panjang dari biasanya. Oke, sekali lagi minta pengertiannya, karena author juga manusia, yang tak sempurna~
__________

Veronica segera mempublishnya dan menutup laptop. Ia melirik jam kamar, sudah menunjukkan pukul empat sore. Ia harus bergegas pergi, ke suatu tempat.

***

"Demi Mimi Peri! Ini udah jam berapa, Kampret?!"

Febriko menjauhkan ponselnya dari telinga sesaat setelah menerima panggilan dari Arka, cowok yang memberinya panggilan sayang berupa 'Kampret' atau sesekali 'Tai Jahanam'.

"Dihapemu enggak ada jamnya?" tanya Febriko, berusaha kalem. Perlahan, ia bangkit dari sofa dan menjejakkan kaki pada lantai keramik rumahnya yang dingin.

"Cepet! Buru dateng!"

Tut.

Febriko mendengus kesal, "Emaknya Kampret ya gini."

Hari ini, Febriko dan kawan-kawan satu almamater OSIS-nya, memiliki agenda buka bersama di salah satu rumah makan yang terletak di dekat Simpang Lima. Waktu pada jam dindingnya sudah menunjukkan pukul 4.55 sore, tapi rasa malas yang terakumulasi di tubuh Febriko membuatnya sama sekali tidak tertarik untuk datang ke acara itu.

Baru saja ingin mengambil ponsel untuk menghubungi Arka, cowok itu lebih dulu menghubunginya.

"Gak boleh absen. Hari ini kita ada pembahasan buat agenda MOS besok."

Tut.

Febriko menyerah. Ia akan datang. Mendengar kata MOS membuatnya kembali teringat pada adik kelasnya yang bernama Veronica. Yang mengetahui rahasia sekaligus ketakutan terbesarnya; kecoa terbang.
"Argh."
***

"Nah, ini dia, murid terganteng se-Asia Tenggara kita! Febriko Arya Satya!"

Riuh tepuk tangan, tawa, dan candaan langsung menyergap telinga Febriko begitu cowok itu melangkah masuk ke dalam ruangan yang sudah dipesan teman-temannya, khusus untuk OSIS SMA Tunisia Global Tahuna, di salah satu rumah makan.

Cowok itu mengenyakkan tubuh di satu-satunya kursi yang tersisa, di samping Raya dan Arka. Setelah menyapa teman-temannya singkat, melempar senyum, dan memesan makanan, ia segera menyuruh Arka, selaku ketua OSIS, untuk memulai acara.

"Entar keburu buka loh."

Arka mengangguk. Cowok berkacamata cokelat itu mengangkat tangannya dan berdehem, mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk diam dan mulai memperhatikan.

"Oke, bisa kita mulai ya acaranya?"

"Bisa."

"Nah, ehem, Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..."

Semua anggota OSIS yang hadir menjawab salam dengan semangat, "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..."

"Jadi untuk agenda MOS kita besok--"

"Permisi, ini pesanannya."
Seorang wanita dengan seragam rumah makan datang membawa nampan penuh dengan minuman yang kebanyakan es teh. Dengan hati-hati diletakkannya nampan itu di atas meja, dekat dengan tempat Febriko duduk.

Febriko mengamati gerakan tangan wanita itu yang tampak gemetar dan kurang terampil, tidak menghiraukan Arka di sampingnya yang kembali melanjutkan pembicaraan. Entah kenapa Febriko merasa mengenali tangan itu, kuku-kuku yang dipotong dan terawat itu, kulit kuning langsat yang terlihat halus itu.

Sret.

"Eh."

Refleks, Febriko menahan sebuah gelas yang hampir saja terjatuh ke lantai karena tersenggol siku sang wanita pelayan.

"Eh, ma-maaf, Kak..."

Febriko mengerjap. Ia kenal suara itu, "Veronica?"
***

AAKKKKKKK KENAPA SAYA TIBA TIBA NULIS INIII, SAMA SEKALI TYDACK KEPIKIRAN VVV":

YAUDA ENJOYING AJAHH😂😍😍

BEGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang