Part 2

310 31 4
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

.

.









Panasnya sang surya sudah tidak bisa dimaklumi lagi. Cahayanya seolah ingin membakar seluruh penduduk bumi, berkilat-kilat menghanguskan secara perlahan. Termasuk semua wanita yang kini berada di sampingku, mereka berulang kali mengibaskan tangan ke wajah, seperti tengah kesal bercampur marah karena mungkin skin care mahal yang menempel di wajahnya luntur.

"Ini panasnya kok kurang ajar banget, sih?! Gak tahu apa skin care gue mahal! Gue bela-belain beli sampe lima juta, eh luntur karena matahari sialan ini!" katanya mencela panas, aku berulang kali mengucapkan istighfar. Ingin sekali rasanya menegur wanita di sampingku ini.

Baik panas ataupun hujan itu merupakan rahmat dari Allah. Kita tidak bisa mencela, atau bahkan tidak terima. Allah yang mengatur waktu, cuaca dan seluruh alam semesta ini. Mencela dan memaki hal tersebut, berarti mencela Allah yang telah mengaturnya.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

“Allah ’Azza wa Jalla berfirman, “Anak Adam menyakiti-Ku. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.”

Seorang nenek lansia datang menghampiri kami, lebih tepatnya ke arah wanita di sampingku. Tertatih-tatih kesulitan membawa tempat yang kuduga isinya kue atau semacamnya. "Maaf, Nak. Apa kamu mau beli dagangan nenek? Dari pagi tidak ada yang beli. Nenek juga dari pagi belum makan," katanya dengan wajah nelangsa. Hatiku terenyuh dan terasa tercabik-cabik melihatnya. Mungkin aku bisa makan dengan enak, tidur nyaman, dan apapun yang kumau tinggal beli. Namun ternyata di luar sana masih banyak yang hidup dengan segala keterbatasannya.

Wanita itu memandang nenek dengan tatapan sinisnya. "Emang gue pikirin?! Hidup-hidup, lo! Bukan hidup gue! Lagipula makanan yang lo jual pasti gak higienis! Makanan kelas rendahan! Mending lo jauh-jauh dari gue!" wanita di sampingku mendorong nenek itu dengan kasar, spontan aku membantunya.

Wanita tadi langsung melengos pergi, tidak lupa menutupi wajahnya dengan buku yang dipegang. Wajahnya tidak asing, sepertinya satu kampus denganku. Walau aku tidak tahu dia jurusan apa. Pakaiannya juga seperti tidak layak pakai. Sikap sombongnya itu terlihat jelas sekali.  Masih ada ternyata orang seperti itu di dunia ini. Hidup pula.

Iblis diusir dari Surga karena sombong, kita yang belum tentu masuk Surga sombongnya sudah melebihi iblis.

"Nenek tidak apa?" tanyaku membantunya berdiri.

"Ti-dak apa, Nak. Nenek sudah biasa diperlukan seperti ini," katanya berusaha berdiri seraya mengangkat box berisi kuenya.

Sudah biasa katanya? Betapa kejamnya dunia ini kepada seorang nenek renta seperti ini? Kemana belas kasih para manusia kepada sesama?

"Nenek tinggal sama siapa kalau boleh tahu?" aku membantunya untuk duduk di kursi halte.

"Nenek tinggal sendiri. Nenek sudah tidak punya siapa-siapa, semua anak nenek sudah pergi. Tidak ada yang mempedulikan nenek lagi." Beliau menunduk dalam, tetes demi tetes cairan bening dari kelopak matanya turun membasahi bajunya yang lusuh.

Ibu merupakan sosok yang luar biasa bagi anak-anaknya karena perjuangan ibu berlangsung cukup panjang. Mulai dari proses mengandung selama 9 bulan hingga melahirkan yang penuh rasa sakit bahkan nyawa pun dipertaruhkan. Belum lagi, tanggungjawab ibu untuk membesarkan anak-anak dengan kasih sayang, pendidikan, dan landasan karakter yang baik. Maka, sudah sepatutnya bagi anak untuk berbakti kepada ibunya.

Dear ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang