Part 7

296 29 8
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

.

.




Pagi ini matahari tampak cerah. Sinarnya seakan membakar semangat kami yang kian menggelora. Para pengurus komunitas berulang kali bolak-balik mengambil beberapa keperluan atau sekadar cemilan dan minuman untuk para anggota medis dan anak-anak disabilitas.

Termasuk aku sendiri yang dari tadi sibuk menyiapkan nasi kotak. Kak Ari, Taufik, Davina, Yasira, Arumi dan beberapa anggota lainnya yang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku tersenyum melihat mereka. Benar kata orang. Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Apalagi jika dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Bahkan Allah sudah mengatakan dua kali dalam firman-Nya. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan.

"Jadi benar kamu wanita yang ambil foto saya waktu di Jepang beberapa hari lalu."

Aku terkesiap. Menoleh ke samping. Seorang pria yang tadi memeriksa anak-anak kini berdiri di sampingku dengan tatapan mengintimidasi. Dosen ini mengenaliku! Aku kelabakan dan mencoba untuk kabur, namun suaranya berhasil menghentikan langkahku.

"Sebegitu seramnya saya sampai kamu mencoba kabur?"

Aku melihat kesana kemari. Berharap ada seseorang yang memanggilku atau apapun itu yang membuatku segera pergi dari suasana mencekam ini.

"B-bukan begitu, Pak. Lagian waktu itu saya tidak sengaja. Wallahi, bahkan foto bapak sudah saya hapus."

Dia mengangguk beberapa kali. "Saya hanya bercanda. Tadi awalnya saya ragu wanita itu kamu. Ternyata benar."

Hening. Aku kembali menyiapkan nasi kotak yang belum selesai. Suasana yang canggung sungguh membuatku ingin pergi dari sini. Rasanya aneh. Dosen di sampingku melihat ponselnya. Ntah sadar atau tidak, dia mengatakan.

"Dua tahun yang lalu Rumah Sakit saya telah dinyatakan sebagai RS Ramah Difabel dan sudah dijalankan secara bertahap. Hal ini merupakan komitmen RS bagi para penyandang disabilitas serta peran langsung dalam bidang pelayanan medis mulai dari pasien sakit sampai dengan rehabilitasi medisnya, di Rumah Sakit saya sendiri telah tersedia fasilitas rehabilitasi medis dengan dokter spesialisnya. Untuk mendapatkan pelayanan tersebut, saya ikhlas membantu anak-anak rehabilitasi di sini."

Aku tertegun sekaligus terkejut mendengar ucapannya. Tidak pernah menyangka ia akan menawarkan hal seluar biasa ini. Padahal awalnya kukira hanya satu kali saja timnya membantu kami. Tapi kini? Rasanya aku ingin sujud syukur sekarang juga.

Bahkan Pak Dosen juga mengatakan akan menyiapkan empat puluh armada ambulance untuk membantu antar-jemput sehingga memudahkan transportasi para anak-anak disabilitas.

Pak Dosen kembali melanjutkan tugasnya. Tiba-tiba kedua sudut bibirku terangkat ke atas. Masih banyak orang baik yang peduli pada rakyat kecil. Namun lamunanku buyar kala mendengar anak kecil yang menjerit.

Safrina. Ya, anak itu adalah Safrina. Gadis manis berusia sepuluh  tahun yang mengidap kelainan cerebral palsy yang disebut spastic diplegia. Kelainan ini mengakibatkan kaki Safrina kaku, kencang, dan sulit untuk digerakkan. Ia pun tidak bisa berdiri, bahkan berjalan. Safrina bahkan harus menggunakan alat bantu jalan atau peralatan khusus lainnya.

Dear ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang