بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Eh? Cuma berdua, Kak?" tanyaku bingung. Pasalnya, mudah sekali dia mengucapkan 'lo pergi sama gue' padahal seumur-umur kita tidak pernah sekalipun satu mobil bareng. Kalaupun satu mobil, tentu ada banyak orang. Bukan berdua begini.
"Gak, berempat," jawabnya singkat. Aku mengerutkan kening, tidak mengerti maksud ucapannya. Berempat dari mananya sedang di sini cuma ada kami berdua.
"Maksudnya?"
"Sama bayangan."
"Gak lucu, Kak!" timpalku kesal.
"Gue emang bukan pelawak."
Tanganku mengepal, rasanya ingin sekali memukul wajahnya yang disukai banyak wanita itu dengan arit, bacok dan parang. Jika tidak berpikir tentang Pasal 351 KUHP Dan UU NO.12/DRT 1951, sudah dari dulu manusia satu ini masuk rumah sakit. Tingkat menyebalkannya itu sudah kronis. Melebihi gadis kecil di film Masha and the Bear.
Tiba-tiba datang Davina dan Taufik dengan terburu-buru. Ah ya, dia Taufik—si cowok bar-bar berambut ikal dengan kemeja andalannya yang kalau bicara tidak pernah disaring—sekalinya ngomong langsung menembus jantung. Yasira dan Arumi sudah berulang kali menjadi korbannya. Cowok kedua paling menyebalkan sedunia setelah ... Kak Ari tentunya.
"Eh, ada wanita masa depan gue." Matanya kedip-kedip ke arahku, membuat jariku yang lentik ini ingin mencoloknya pakai paku. Sungguh, dia satu-satunya cowok yang berani menggodaku, di depan dosen sekalipun.
"Ra, lo tahu gak apa bedanya Jakarta sama lo?" Tuh 'kan, baru dibilang juga sudah mulai.
"Jakarta penuh dengan kendaraan. Kalau kamu menuhi hatiku. Gombalan lama! Gak guna, Fik!"
Bukan, itu bukan kataku. Melainkan Davina, aku sama sekali tidak pernah menanggapi ucapan Taufik yang memang sangat jauh dari kata 'penting' itu. Hanya menghabiskan waktu percuma.
"Salah! Kalau Jakarta ibukota Indonesia, kalau Kira ibu dari anak-anak gue," jawabnya diakhiri gelak tawa karena sudah berhasil menggunakan jurus gombalan 'alay'nya yang sudah ke ... ehm, lebih kurang yang ke tiga ratus sembilan puluh delapan kalinya.
"Shit!" aku menoleh, dan ternyata itu umpatan dari Kak Ari. Dia langsung melenggang masuk ke dalam mobil, Davina dan Taufik buru-buru masuk sebelum ditinggal. Aku duduk di belakang bersama wanita yang kini memakai tunik ungu dengan rok hitam. Sangat cantik.
"Ra, gue tadi ngelamar lo. Gue pengen secepatnya menghalalkan lo," kata si raja gombal di sela-sela perjalanan.
"Anda pikir saya barang haram apa?!"
Dia mati kutu. Dan terdiam cukup lama sampai kami sampai di Rumah Cinta. Aku dan Davina langsung masuk menghampiri ibu pengurus, anak-anak langsung berhamburan memeluk kami erat.
"Kak Kira kok lama banget kemari? Kami udah kangen," kata gadis cilik berambut panjang bernama Tiara. Aku jongkok dan merangkul bahunya.
"Kakak juga kangen banget sama kalian semua."
Kami menghampiri ibu pengurus dan menyerahkan uang dari beberapa donatur setiap bulannya. Namanya Bu Fatimah, wanita paruh baya seumuran Bunda yang sudah berbesar hati membantu kami merawat anak panti dan para jompo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku
EspiritualDear Imamku Aku wanita biasa yang tengah berjuang mencintaimu dengan cara yang luar biasa. Ketika akad terucap, dan saat itu pula kuputuskan untuk melabuhkan cintaku padamu. Besar harapanku kita bisa bersama membangun mahligai rumah tangga menuju Sy...