Hujan.
Halte depan kampusku kini kosong. Hanya ada aku seorang. Tentu saja begitu. Karena sebenarnya ini musim liburan semester genap. Aku datang ke kampus untuk mengurus skripsiku yang minta ampun rumitnya.
Sebuah motor bebek berhenti mendadak di depan halte, si pengendara betubuh jangkung turun dengan santai dan duduk di sampingku. Bajunya yang sempurna kuyup membasahi bangku halte, merembes hingga ke lantai berdebu yang masih kering, lalu melepas helm-nya.
Ting!
Ah, Whattsapp dari Bunda. Tanpa membukanya aku pun tahu apa isinya. Pasti soal cowok yang akan dikenalkan padaku itu lagi.
"Misi," cowok di sampingku mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Kamu punya korek api?"
Aku mengerutkan dahi, serta merta menoleh karena pertanyaannya. Tapi ... oh, wajah ini ...
Teman SMA-ku dulu. Anak kelas sebelah yang terkenal seantero sekolah karena termasuk pemain terbaik dalam tim futsal sekolah.
Aku hampir menyebut namanya kalau saja tak sadar bahwa cowok ini mungkin tidak mengenaliku. Selama tiga tahun sekolah kami tidak pernah benar-benar mengenal. Mungkin hanya tahu sebatas nama. Meski kami seangkatan. Dan lagi sekarang aku memakai masker.
"Sori ..." sepertinya ia sadar akan tatapan anehku padanya.
Aku melirik jarinya yang sedang menjepit sebatang rokok yang juga basah.
"Kamu kuliah di sini?" tanyanya sambil mengacak rambutnya yang basah, pasti sekedar basa-basi pada orang asing yang tak sengaja ditemui.
Aku mengangguk.
"Semester berapa?"
Aku tak langsung menjawab.
Cowok itu mengangguk, "Saya cuma berusaha ngisi waktu selama nunggu hujan reda aja ... kalau kamu keberatan, nggak usah jawab pun nggak apa. Mungkin kamu lebih suka menghabiskan waktu dalam diam."
Aku mengalah, "Sudah mau sidang."
"Hm ... selamat! Satu pencapaian dalam hidup akhirnya terlaksana."
"Kamu?" tanyaku ikut berbasa-basi. Jujur saja aku cukup kaget melihat sosoknya di sini. Setahuku dia kuliah di Malang, sekalian pindah, kembali ke kampung halamannya.
"Saya? Harusnya kerja, tapi pusing juga nyarinya. Susah," ia terkekeh pelan.
Oh. Mungkin dia sudah selesai kuliah. Aku mengangguk setuju sebagai jawaban.
Cowok di sebelahku merogoh saku jaketnya, mengeluarkan ponselnya yang sudah basah tak keruan. Ia mengumpat pelan.
"Banyak banget ya kejadian yang nggak kita inginkan malah terjadi," selorohnya sambil menunjukkan ponselnya yang mati.
Aku menurunkan maskerku tak peduli, toh dia tidak mengenaliku. "Kamu butuh buat nelepon orang? Bisa pinjam punya saya." Aku menyodorkan ponselku yang sejak tadi terus berbunyi karena Bunda tidak berhenti mengirim whattsapp.
Ia melirik sebentar layar ponselku, "Nggak. Saya emang gak mau ponsel saya rusak, tapi sepertinya Tuhan tau ini yang terbaik ... dan maaf, saya nggak sengaja baca pesan bundamu."
Ah. Pesan-pesan itu. "Nggak apa. Bunda emang dari tadi WA terus. Tapi hujan petir begini ngeri juga kalau main hp."
Ia menyeringai, "Alasan yang bagus. Bundamu minta kamu pulang sekarang?"
Aku mengangguk, "Tapi kalau saya terabas hujan ini, mungkin saya akan berakhir kayak kamu."
Alisnya terangkat. Senyumnya terbit, "Kayak saya sekarang?"
Hm ... "Kacau?" Aku bisa melihat dari wajah redup dan caranya kini bersandar. Juga jangan lupa tubuhnya yang basah kuyup. "Kamu kayak orang yang kabur dari rumah karena mau dijodohin sama orang yang gak kamu kenal, sementara kamu udah punya pacar." Dalam hati aku meringis, bukannya itu aku, ya?
"Kamu lagi cerita soal dirimu sendiri, ya?" Matanya menyipit menatapku.
Aku melengos, menghindari tatapannya. Jalanan ramai terguyur hujan di depan mendadak menarik perhatianku.
"Atau kamu ternyata titisan cenayang?" Senyumnya getir, "Jadi siapa cowok yang dijodohin sama kamu?"
Pertanyaannya! Bisa-bisanya ia bertanya begitu pada orang yang tidak dikenal. "Bukannya kamu yang dijodohin?" tanyaku ketus.
"Okey. Saya ganti pertanyaannya. Kamu punya pacar?"
"Waduh ..." selorohku refleks, aku buru-buru menutup mulutku dengan tangan.
Ia tertawa pelan, "Sori ..." Ia kini duduk tegak, menatap lurus jalanan di depannya, "Hujan udah mulai reda. Kamu pulang naik apa?"
"Saya naik ojek online," jawabku, "Kamu mau jalan lagi?"
Ia mengangguk, "Saya duluan, ya. Makasih udah mau temanin saya nunggu hujan."
Aku tersenyum lebar, menatapnya yang bangkit dengan pakaiannya yang masih meneteskan air. Entah kenapa sebagian hatiku ingin dia mengenaliku sekarang.
"Senang bisa ketemu kamu lagi ... Almeera!" katanya sebelum meninggalkan halte.
.
Aku tahu menurut orang tuaku aku sudah melenceng terlalu jauh. Memacari cewek beda agama yang sejak awal sudah kusadari konsekuensinya. Tapi tetap saja cara mereka menghukumku ini keterlaluan.
"Kalau kamu nggak bisa cari sendiri, Mama bisa cariin buat kamu!" Tegas Umi dengan wajah marahnya.
"Ya aku juga kan bukannya mau langsung nikah sekarang, Mi!"
"Oh jadi kamu sama dia cuma main-main aja? Nggak ada niat untuk seriusin? Kalau gitu mending nggak usah berhubungan sama sekali."
"Ya nggak gitu, Mi ..."
"Nggak gitu gimana? Kamu tau sejak awal hubungan ini nggak punya masa depan, kecuali kalau kamu bisa mengislamkan dia." Umi berhenti sejenak. "Tapi kamu sendiri yang bilang keluarganya Kristen yang taat. Jadi jelas opsi ini gak memungkinkan. Buat apa masih dijalanin?"
Majelis sudah ketuk palu. Bulatlah sudah keputusan orang tuaku untuk mengenalkanku dengan cewek pilihan mereka sebagai usaha untuk memisahkanku dengan pacarku sekarang. Aku sama sekali tidak tertarik. Dipikir aku ini Siti Nurbaya?
Setelah bertengkar hebat, aku memutuskan untuk pergi, berusaha mengumpulkan pikiranku yang carut marut. Tapi takdir memang selalu berulah. Tahu saja waktu yang tepat untuk merusak kehidupanku. Dengan seenak jidat dia malah mempertemukanku dengan seseorang dari masa laluku. Rasaku yang tak sampai.
Almeera Gustia.
Sekilas saja cukup untukku mengenalinya. Dia justru yang sepertinya tidak mengenaliku ketika aku duduk di sampingnya, basah kuyup oleh hujan yang memang sengaja kuterobos. Apa yang membuatku tiba-tiba ingin berhenti di halte kampus ini? Tidak ada. Hanya tiba-tiba ingin menepi. Rehat sebentar dari hujan yang menerpaku. Menemukannya duduk sendirian di halte itu pasti ulah si Takdir. Dan satu hal aneh yang selalu terjadi ketika aku berhadapan dengan Almeera, aku tidak bisa menahan rasa gugupku. Begitulah akhirnya, dengan bodohnya, aku berpura-pura tidak mengenalinya. Pengecut!
Sialnya aku segera menyadari siapa dia di kehidupanku sekarang.
Bunda: kakak ... halo?
Bunda: bunda bukan jodohin kalian, cuma mau ngenalin anak teman bunda aja ..
Bunda: namanya Gassan ...Pemberitahuan whattsapp-nya yang tertera di layar ponselnya yang terkunci memperlihatkan pesan-pesan itu. Kepalaku langsung berputar, mencoba mencerna informasi ini.
Tuhan ... apa rencanamu sebenarnya? []
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Pukul Tiga Pagi dan Sebatang Rokok
SpiritualPerihal pasangan. Almeera tidak pernah berdoa soal jodoh, ia terlalu percaya bahwa suatu hari Tuhan akan mendatangkan seseorang yang paling baik untuknya. Gassan gamang, ultimatum yang diberikan uminya agar ia memutuskan pacarnya yang berbeda keyak...