pukul 15.00: titik api dalam hati sekering gambut

35 8 0
                                    

Lelah.

Almeera mengangkat motornya, menaruhnya di atas standar tengah, lalu mengengkolnya hingga hidup. Motor gigi bututnya ini sudah lama ngambek, menolak dihidupkan dengan saklar starternya, sementara untuk memperbaikinya butuh uang sedikitnya setengah juta. Ia tidak memilikinya sekarang, butuh lima bulan menyisihkan sedikit gaji mengajar kursusnya untuk bisa membayarnya. Sementara ini, ia harus bersabar.

Setelah cukup panas, Almeera segera melajukan motornya membelah jalanan kompleks perumahan sederhana yang sudah ia tinggali sejak kecil ini. Tak lama, ia sudah mengarungi jalan raya di daerah Bandung yang ramai. Motornya lalu berbelok menuju sebuah kompleks perumahan elit dan berhenti di depan sebuah rumah bergerbang hitam tinggi.

Almeera mengecek sekali lagi alamat yang tertera di ponselnya. Setelah yakin benar, ia memencet bel. Dua kali ia menekannya sampai seorang wanita muda tergopoh-gopoh keluar membukakan gerbang.

"Assalamualaikum." Almeera melempar senyum. "Rumah Bu Dian betul, ya?"

"Iya betul. Mbak-nya guru privat Mas Zaki yang baru, ya?"

Almeera mengangguk. "Iya, Mbak. Saya Almeera."

"Oh iya. Masuk Mbak Almeera. Saya Ewis. Zaki udah saya suruh siap-siap. Motornya masukin aja ke garasi, di belakang motor biru itu, agak minggir ya Mbak, sebentar lagi ada mobil Ibu pulang," ujar Ewis seraya membuka gerbangnya lebih lebar lagi.

Almeera menurutinya. Setelah parkir, Ewis mempersilahkannya duduk di ruang makan. Tumben sekali, biasanya kalau ia datang mengajar privat di rumah, ia akan ditempatkan di ruang tamu.

"Tunggu sini, ya, Mbak. Aku panggil Mas Zaki-nya dulu."

Tak lama, seorang anak laki-laki bertubuh subur muncul dan duduk di seberangnya. Rambutnya basah dan ia masih mengenakan sarung.

"Halo," sapa Almeera. "Aku Almeera, mulai hari ini aku ngajar privat buat mapel Matematika. Salam kenal."

Zaki menganggukkan kepala.

"Kamu kelas berapa ya Zaki?"

"Naik kelas sembilan, Kak."

Almeera mengangguk-anggukan kepala. "Ada buku paket sekolah kamu nggak? Jadi kita ngulang pelajaran kamu aja."

Zaki mengangguk, ia bangkit dan kembali dengan dua buku paket di tangannya. Satu Matematika dan satu lagi Matematika Sains.

Almeera meraih salah satu buku tersebut dan membuka bagian ujian tengah semester. "Coba kamu kerjain dulu pilihan gandanya. Aku kasih waktu tiga puluh menit, habis itu kita bahas."

"Mbak Almeera ini minumnya sama ada donat, dicicip, ya." Ewis menaruh segelas air putih dan sebuah donat bertoping krim keju.

"Makasih, Mbak."

"Mas Zaki, yang benar, ya belajarnya, Ibu pesen sama aku buat ngawasin belajarnya." Ewis mencolek lengan Zaki yang terlihat malas lalu menatap Almeera. "Mbak, titip ya."

Almeera mengangguk.

-

Satu setengah jam sesi belajar hari pertama ini selesai. Zaki sebenarnya sudah punya dasar yang bagus dalam pemahanan Matematika, hanya butuh sedikit polesan hingga ia mengerti konsep dan bisa memecahkan soal dengan mudah.

"Mbak, tunggu sebentar, ya. Ibu mau ketemu." Ewis muncul ketika ia sedang membenahi tempat pensilnya.

Seorang perempuan paruh baya berkerudung panjang muncul dengan wajah lelah namun sumringah. Ia mengulurkan tangan dan menyalami Almeera, mencium pipi kanan kirinya khas salam ibu-ibu.

"Saya Dian, ibunya Zaki. Gimana Mbak Almeera, Zaki-nya?" Tanya Dian yang kini duduk di sebelah Almeera.

"Alhamdulillah, bu, Zaki anaknya cepat paham, jadi enak ngajarinnya. Dia sebenarnya bisa, cuma kadang suka bingung dan kurang teliti aja waktu ketemu soal."

Ewis tiba-tiba datang, "Maaf bu dipotong sebentar. Mbak Almeera, motornya bisa dipindah sebentar nggak? Motor di depan mbak mau keluar."

Almeera buru-buru bangkit, ia menggeledah tasnya dan menarik keluar kunci motornya.

"Kasih kuncinya aja, biar Gassan yang mundurin, saya masih ngobrol dengan Almeera." Dian menghentikan Almeera yang hendak keluar.

"Oh iya." Ewis meraih kunci motor Almeera dan menghilang ke arah depan rumah.

"Sampai mana kita tadi ... ya pokoknya semoga Zaki cocok diajar Mbak, ya." Dian mengelus tangan Almeera. "Dia udah berkali-kali pindah tempat les karena malas pergi. Akhirnya saya panggil guru privat aja deh ke rumah kalo emang anaknya malas les di luar."

"Iya mudah-mudahan saya juga bisa membantu Zaki belajar. Semoga cara saya jelasin gampang untuk Zaki tangkap."

Dian menoleh ke balik punggung Almeera. "Mau ke mana Gassan? Udah makan belum?"

"Main dulu Ammah, assalamu'alaikum." Almeera bisa mendengar suara seorang cowok di balik punggungnya yang bisa dipastikan adalah Gassan.

"Ya hati-hati." Dian kembali menoleh pada Almeera. "Maaf ya mbak kepotong terus. Mbaknya masih kuliah?"

"Masih bu, lagi skripsi."

"Oalahhh ... sibuk dong ya. Mudah-mudahan masih tetep bisa ngajar Zaki, ya, disela skripsi."

Almeera tertawa miris, justru mengajar ini ia jadikan pelarian atas mandeknya skripsinya.

"Soal spp, mau bayar harian atau mingguan, atau bulanan?" Tanya Dian.

Almeera kebingungan. Ini pertama kalinya ia ditanya seperti itu oleh orang tua murid yang ia ajarkan. Biasanya mereka yang menentukannya sendiri dan ia hanya mengikuti selama mereka membayar dengan benar.

"Seenaknya Ibu aja. Saya oke aja," jawab Almeera.

"Mingguan aja, ya. Seminggu kan dua kali pertemuan. Nanti saya rapel bayarnya."

"Baik."

-

"Kakak ngajar di mana lagi?" Tanya Tina sesampainya ia di rumah.

Almeera menyebut nama perumahannya.

"Ohh ... lumayan jauh ya. Ngajar siapa?"

"Ada. Anak SMP. Cowok." Almeera menatap bundanya yang sibuk mengulek sambal. Ia tidak berniat membantu meski melihat wajah bundanya yang kepayahan. Ia juga lelah, sejak pagi mengajar di sana-sini.

"Kakak bisa bantu Bunda antar pesanan donat nggak sekarang?" Tanya Tina.

"Al kan ke TPA, Bun. Ba'da Ashar itu jadwal Al ngajar di sana. Kok nggak hapal-hapal, sih," jawab Almeera sedikit sebal. "Al ngajar tiap hari lho. Tolong dihapal jadwalnya biar nggak nyuruh di jam ngajar."

"Eh, iya, ya. Terus pesanan donatnya gimana, ya. Bunda udah janji diantar abis Ashar."

Almeera mendesah, "Kalo Al nganter donat dulu, nanti telat ngajar TPA-nya. Emang nggak ada yang lain? Anak Bunda bukan cuma Al."

Tina mengelap peluhnya, "Ya udah, Kakak ke TPA, Bunda cari orang lain buat antar."

Almeera cemberut, ia mendecak sebal. "Lagian Bunda kenapa janjinya jam segini. Besok-besok kalo mau nyuruh jangan di waktu aku ngajar. Mana sini donatnya."

"Nggak usah. Kamu ke TPA aja."

Almeera menahan rasa kesalnya, "Buruan."

"Udah nggak usah." Tina mengibaskan tangannya agar anak gadisnya itu cepat berangkat ke TPA.

"Apaan sih Bun, giliran aku mau, Bunda malah nggak usah gitu." Wajah Almeera mengerut. "Buruan. Makin telat aku kalo Bunda nolak."

Tina akhirnya memberikan dua lusin donat di dalam boks kepada Almeera yang menerimanya dengan wajah tertekuk. Ia mendesah, kenapa ia dan anak perempuan satu-satunya ini tidak bisa berkomunikasi tanpa wajah mengerut dan kesal. []

.
.
.
With love,
Fara Madhani.
Semoga tulisan ini bisa jadi dakwahku.
[05•01•2022]

Kisah Pukul Tiga Pagi dan Sebatang RokokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang