pukul 16.30: haluan yang terombang-ambing

58 8 8
                                    

Damai.

Zizi tidak pernah memberitahu siapapun, bahkan ibunya atau Almeera, bahwa belakangan ini sesuatu yang tidak biasa terjadi padanya. Ini berhubungan dengan misinya mendekati Kafta. Tanpa sadar ia membuat hobi baru. Hobi ini dimulai karena senang mendengar suara Kafta. Lalu tanpa sadar telinganya mulai menyukai lantunan syahdu itu. Kini ia tidak peduli pada si pengumandang. Asal suara itu terdengar, rasanya ia ingin segera berlari

Pun siang ini. Zizi sudah duduk rapi di depan bangunan yang ramai oleh siswa Muslim, menunggu suara itu terdengar karena sudah dekat waktu dzuhur.

Allahu akbar Allahu akbar ....
Allahu akbar Allahu akbar ....

Ya, adzan.

Zizi memejamkan mata. Entah siapa yang sedang mengumandangkannya, Zizi hanya fokus pada tiap kalimat yang keluar. Bait-baitnya masuk ke dalam telinganya dengan sejuk. Mengelus sanubarinya yang mendadak terasa kering. Rindu dirasa, hingga rasanta tidak rela ketika adzan itu selesai.

Karena perkara ini ia jadi rajin menunggui Almeera sholat. Sahabatnya itu selalu kesal karena masih mengira bahwa alasannya ke mushola adalah untuk mencari Kafta. Yah ... tidak sepenuhnya salah, hanya ada tambahan alasan saja.

"Woy. Ayok cari makan!" Almeera sudah rapi dengan sepatunya. Tas kecil berisi mukena ada digenggamannya.

"Kafta ada di dalem?" Tanya Zizi.

"Mana gua tau. Nggak merhatiin." Almeera menggedikkan bahu.

"Ada. Tadi gua liat pas dia taro sepatu." Zizi nyengir berseri-seri.

"Nanya sendiri, jawab sendiri dia," gumam Almeera keki. "Kenapa sekarang topik obrolan kita jadi semembosankan ini! Nggak ada variasi!" Almeera manyun. "Makan apa?"

"Mie ayam!" Zizi segera menyebut makanan kesukaannya.

Keduanya lalu memesan mie ayam di kantin sekolah. Suasana di sana ramai, semua siswa sibuk menyelesaikan urusan perut mereka siang ini. Jajanan di sini cukup beragam. Lumayan lengkap untuk ukuran kantin sekolah. Mulai dari siomay sampai seblak. Es teh sampai cappucino cincau.

"Turnamen minggu ini lu dateng, ya." Zizi menatap penuh harap. "Gua nggak ada tebengan."

Almeera menyeruput mienya, "Hooh ... hadhi hu huma buhuh huphir haaa haa (oh jadi lu cuma butuh supir aja ya)"

"Jangan ngomong sambil makan!" Zizi mengingatkan soal adab makan dasar itu.

"Lu cuma butuh supir doang!" Sembur Almeera ketika sudah menelan makanannya.

"Ya nggak. Kan sekalian main. Kita udah lama nggak main."

"Gua kan gak suka futsal Zi. Nggak ngerti." Almeera menolak.

"Ya nggak perlu ngerti. Temenin gua aja," bujuk Zizi.

"Kita nonton yang cewek, kan?" Selidik Almeera.

"Ya ... iya ... nanti ke tempat cowok juga, biar adil. Masa gua dukung tim cewek aja."

Cih.

-

Hari turnamen itu tiba. Almeera harus mempertanyakan kewarasannya sekali lagi karena mengiyakan ajakan ini. Harusnya weekend ini bisa ia pakai untuk mencuci dan menyetrika bajunya yang menumpuk. Tapi lihatlah di mana ia sekarang, duduk rapi di dalam GOR sekolah tetangga yang penuh dengan kaum hawa. Aneh. Padahal ini pertandingan futsal.

Zizi senang sekali ketika datang dan bisa duduk di dekat bangku cadangan tim futsal cowok sekolah mereka. Dasar. Padahal bilangnya akan datang ke tempat cowok setelah melihat futsal cewek.

Kisah Pukul Tiga Pagi dan Sebatang RokokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang