pukul 17.00: keraguan hati yang merindu

62 5 3
                                    

Pusing.

Rupanya Tina belum menyerah soal taaruf ini.

"Bun, kalo emang cowok ini cari istri, jangan dateng ke Al. Cari yang emang udah siap."

"Kalo bicara siap gak siap, kamu memang nggak pernah akan merasa siap, Kak." Tina menulusuri wajah anak gadisnya itu.

"Oke. Selain kesiapan, Al juga belum ada keinginan untuk menikah dalam waktu dekat." Suara Almeera sudah lebih dari ketus.

"Gimana kalo kamu konsultasi sama murabbi kamu?" Tina menyerah, anaknya sama sekali tidak mau mendengarkannya.

Baik. Kalau memang Tina tidak bisa menerima pendapatnya, ia bisa meminta murabbinya untuk meyakinkan bundanya itu, bahwa saat ini menikah belum jadi prioritasnya. Maka hari itu juga Almeera pergi menemui murabbinya. Beliau adalah gurunya sejak SMA. Ia datang dengan penuh harap bahwa murabbinya akan sependapat dengannya dan bisa membujuk Tina agar membatalkan proses taaruf ini.

"Kalo alasan kamu cuma belum siap. Sampai kapanpun nggak akan siap." Ujar murabbinya. Persis seperti Tina.

Lemas Almeera dibuatnya.

"Nikah kan bukan persoalan gampang, Ustadzah. Itu soal seumur hidup. Kalau saya belum siap, apa jadinya rumah tangga nanti. Kalau sampai terjadi perceraian gimana."

"Naudzubillahi min dzalik." Murabbinya menepuk pelan tangan Almeera. "Makanya sebelum pernikahan ada macam-macam proses yang InsyaAllah bisa buat bekal kalian nanti berumah tangga. Mulai dari taaruf sebagai usaha mengenal calon pasangan. Ada seminar pra-nikah. Ada istikharahnya juga. Gak tiba-tiba menikah."

Almeera hampir menangis mendengar jawaban murabbinya. Ia benar-benar belum ingin menikah sekarang.

"Kamu sudah istikharah?"

Almeera menggeleng.

"Belum istikharah kenapa menolak sekeras ini. Minta sama Allah agar diyakinkan hati kamu dalam ikhtiar mencari pasangan ini. InsyaAllah ragumu akan hilang setelah sholat."

Almeera menahan sesaknya. "Aku belum lulus kuliah. Aku belum kerja. Aku belum bisa bantu keluargaku. Belum sempat bahagian Bunda. Masa main nikah begitu aja Ustadzah?"

"Apa Bunda kamu melarang proses taaruf ini?"

Almeera menggeleng. Justru bundanya yang paling mendukung hal ini.

"Boleh jadi ini cara kamu bahagiain Bunda ... Almeera, umurmu genap dua puluh tiga tahun. Udah sepantasnya menikah. Menggenapkan din-mu. Menikah juga membuka banyak pintu rizki yang tidak kamu sangka-sangka. Siapa tahu ini bisa jadi jalan keluar mentoknya hidup yang kamu rasain sekarang."

Murabbinya tentu tahu soal dia yang dilanda stres akibat tugas akhir. Meski Almeera tidak menyadarinya, namun melihat gelagatnya, orang terdekatnya sepakat akan hal ini.

"Istikharah dulu."

-

Pukul tiga pagi, seperti biasanya, Almeera terbangun. Ia segera mengambil wudhu dan melaksanakan tahajjud. Malam ini ditambah dengan sholat istikharah untuk meminta petunjuk soal proses taarufnya ini.

Usholli sunnatan istikharati rak'ataini lilahi ta'ala ...

Lepas sholat, Almeera terhanyut dalam doa panjangnya. Meminta ampun dan memohon petunjuk atas kegelisahannya kini. Air matanya tumpah tanpa terasa. Pelan-pelan muluruhkan sesak yang ia rasa seharian kemarin. Ia memang butuh jalan keluar, tapi menikah rasanya terdengar tidak pas untuk situasinya ini.

Menunggu waktu subuh datang, Almeera melanjutkan tadarusnya. Pukul 4.30 pintu kamarnya diketuk.

"Al, ayo berjamaah." Kepala Tina muncul dari balik pintu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah Pukul Tiga Pagi dan Sebatang RokokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang