pukul 13.00: api yang kau sulut sendiri

45 9 1
                                    

Hening.

Almeera tergugu di atas sejadahnya usai menunaikan sholat tahajud. Skripsinya belum tergarap, tapi Tina, bundanya, tiba-tiba jatuh sakit. Tina tidak pernah bilang apapun, menyimpan dengan rapi keluhannya selama dua bulan. Benjolan di lehernya yang akhirnya membesar membuatnya tidak lagi bisa menyembunyikannya. Setelah proses tes yang memakan waktu hingga hampir sebulan, rujuk sana rujuk sini, dan bersabar dengan pelayanan pasien BPJS yang lambat, akhirnya hasilnya keluar. Ia ternyata menderita TBC kelenjar.

Kekuatan tubuh Tina juga tiba-tiba menurun drastis. Yang biasanya lincah ke sana ke mari mengerjakan banyak hal, sekarang menyapu saja sudah keluar keringat dingin. Pernah satu kali, saat Almeera sibuk mengetik skripsi, bundanya tiba-tiba pulang dari sekolah tempatnya mengajar, memanggil-manggil dengan nada panik.

"Tolongin. Bunda nyesek. Susah banget napasnya." Wajah Tina sempurna pucat, memutih seakan seseorang baru saja mencabut rona hidupnya.

Dengan alasan ini, akhirnya Tina menyerahkan tugas mengajarnya di madrasah pada Almeera sebagai anak sulung dan satu-satunya anak perempuan. Meski mengeluh, ia tidak punya pilihan selain mengabulkan permintaan orang tuanya. Ia juga tidak tega kalau harus melihat Tina kepayahan setiap hari. Padahal ia sendiri sudah punya jadwal mengajar les privat ba'da dzuhur dan ba'da ashar dari Senin sampai Jumat.

Bu Inayah: Salam. Bagaimana kabar kalian? Besok saya ada di kampus sampai jam 1, tolong kalian datang ke kampus untuk bimbingan sksipsi, ya, mumpung saya bisa.

Pesan di grup chat bimbingan membuat Almeera ketar-ketir. Pasalnya skripsinya belum ada kemajuan semenjak seminar proposal, bagaimana ia bisa menghadap ke pembimbingnya tanpa materi. Ia sungguh tidak punya waktu untuk mengerjakan tugas akhirnya itu karena kegiatan mengajarnya.

"Lu harus pilih, ngajar atau skripsi?!" Zizi mengingatkan. Anak itu sekarang berada jauh di Malang, juga sedang berjuang mengerjakan skripsi yang akan rampung sebentar lagi.

Almeera tidak bisa menyerah pada kegiatan mengajarnya, karena ia butuh uang. Sebagai anak sulung, ia merasa harus bisa meringankan beban ekonomi keluarga ... kalau memang belum bisa membantu. Karena keluarganya bukan keluarga dengan ekonomi lebih. Sejak semester sembilan, ia membayar uang kuliahnya sendiri dan berhenti menerima uang saku lantaran malu kalau masih meminta, karena keterlambatan lulus ini sebagian memang salahnya.

"Apa sih yang buat skripsi Kakak mandet?" Tanya Tina suatu hari.

Almeera membeberkan bermacam alasan, mulai dari pihak jurusan yang lambat memproses pembagian dosen pembimbing skripsi, lalu si dosen pembimbingnya yang super sibuk entah untuk alasan apa, juga di ghosting oleh beliau sampai dua bulan, sampai sulitnya mendapatkan data penelitiannya. Meski begitu, hati kecilnya tahu, semua itu hanya alasan belaka, karena sebenarnya masalah terbesar ada pada dirinya sendiri.

"Gua tuh sebenernya nggak ngerti sama skripsi gua sendiri," ungkap Almeera suatu hari.

Zizi di seberang telepon mendesah kasar, "Ya coba lu cari skripsi atau jurnal gitu yang mirip sama penelitian lu."

"Udah, Zi ..." kini giliran Almeera yang mendesah kasar. "Tetep nggak ngerti. Gua tuh tau gua kurang baca, tapi rasanya capek banget baca jurnal-jurnal bahasa Inggris yang bahasanya kadang ketinggian sampe gua melongo sendiri."

"Hmmm ... jadi sebenernya lu tau problem lu sendiri, tapi menolak untuk mengatasi. Benar begitu saudari Almeera?" Zizi sedikit menyentil Almeera.

Almeera bungkam. Ia menepis jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Ia menolak mengakui bahwa memang sumber keterlambatan skripsinya paling besar datang dari dirinya sendiri. Tanpa malu ia menutupinya dengan sok sibuk mengajar sana-sini, padahal ia yang paling tahu kalau ia hanya butuh pengalihan yang mungkin bisa diterima orang tuanya soal mandeknya skripsi.

Kisah Pukul Tiga Pagi dan Sebatang RokokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang