Gairah.
Zizi bersemangat sekali menceritakan pada Almeera bahwa akan ada turnamen futsal sebentar lagi. Untuk itu waktu latihan futsal ditambah dua kali lipat. Satu di jadwal ekskul seperti biasa. Satu lagi di luar sekolah setiap hari Minggu.
"Yang artinya, gua bisa ketemu Kafta lebih sering dan di luar jam sekolah!" Zizi menutup ceritanya pagi ini persis seperti pagi kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi.
Almeera mendengus. Tentu saja. Bukan soal turnamennya yang membuat anak ini snewen, tapi intensitas pertemuaannya dengan Kafta yang nail dua kali lipat.
"Tu anak makin ganteng kalo pake baju biasa." Zizi memegang kedua pipinya berseri-seri.
Tolong doakan supaya Almeera kuat menghadapi budak cinta satu ini.
"Dia tu kalo main futsal keren banget deh sumpah! Lari-lari, keringatan gitu, hmmmm ..."
"Ngeres banget!" Sembur Almeera. "Emang lu udh bisa ikutan turnamen? Anak baru juga!"
"Ya nggak ... mana bisa gua! Bola aja takut!" Zizi tetap memasang tampang berseri-seri.
"Ngapain lu ikut latihan tambahan kalo gitu!? Katanya yg tambahan anak-anak yang turnamen aja!"
"Ya gua nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas begitu dong!"
Almeera geleng-geleng kepala. Temannya ini sudah pada tahap kronis.
"Minggu ini lu mau ikut kita latihan, nggak? Pulangnya biasanya kita main."
"Nope. Gua mau kerja kelompok di rumah Sofia." Almeera menoyor lengan Zizi. "Kelompok lu bukannya juga sama kerkol minggu ini?"
"Gua udah izin." Zizi menggedikkan bahu.
"Cih." Almeera mencebik.
-
Minggu tiba.
"Yah, motor nggak dipake kan ya? Aku pinjem ya hari ini. Mau ke rumah temen, bikin tugas." Almeera menyembulkan kepala di ambang pintu depan.
"Di mana rumahnya?" Tanya ayahnya.
"Deket." Almeera menjawab pendek. "Bun, aku kerja kelompok dulu. Assalamu'alaikum." Almeera mencomot kunci motor di atas kulkas.
"Pulang jam berapa?" Tanya Tina.
"Ya belum tau. Seselesainya." Almeera sudah mengeluarkan motor dari ruang tamunya.
"Kabarin kalo pulangnya malem." Pesan bundanya.
"Iya."
Almeera melajukan motor bebek ayahnya di jalanan Bandung pagi hari yang ramai. Kota ini sudah sama padatnya seperti Jakarta semenjak gencar dipromosikan sebagai kota wisata. Bedanya di sini tidak terlalu diliput di televisi.
Kompleks perumahan Sofia tidak terlalu jauh dari rumah Almeera. Cewek berkerudung itu punya rumah di jalan utama yang membuatnya mudah ditemukan. Melihat garasinya yang kosong, nampaknya Almeera jadi yang pertama sampai.
"Assalamu'alaikum." Almeera mengucap salam agak kencang.
"Wa'alaikumsalam." Bukan dari dalam rumah, tapi dari depan motornyalah jawaban itu terdengar.
Almeera mengernyit, makin dalam ketika melihat cowok jangkung dengan helm di depannya. Kafta. Ngapain dia ada di sini?
"Jawab salam kan wajib!" Kafta membela diri melihat Almeera yang melirik sinis di balik maskernya.
"Mau ke mana lu?" Sofia muncul dari dalam rumah. "Futsal?"
"Iya. Titip rumah ya." Kafta mengulurkan kunci rumahnya dan menaiki motornya.
"Kosong?" Tanya Sofia.
"Iya. Pada arisan. Berangkat dulu. Assalamu'alaikum." Kafta melirik sekilas pada Almeera yang sudah tidak lagi memasang wajah sinis, namun masih terasa dingin.
"Wa'alaikumsalam." Almeera menjawab pelan dibalik maskernya.
"Yuk masuk Al, motornya masukin garasi aja." Sofia mempersilakan teman sekelasnya itu untuk masuk ke rumahnya.
"Dia tinggal di samping?" Tanya Almeera tanpa sadar menyuarakan isi kepalanya.
"Siapa? Kafta?" Sofia bingung karena kata ganti "dia" yang dipakai Almeera tidak jelas merujuk siapa.
"Iya. Cowok yang ditaksir Zizi itu."
Sofia mengulum senyum samar. "Iya gua tetanggaan sama dia."
"Kok lu nggak pernah nyebut-nyebut? Apalagi pas Zizi lagi ribut di kelas soal dia."
Sofia menggedikkan bahu. "Nggak ada manfaatnya juga kalo gua ngomong."
Almeera menelengkan kepala. "Iya juga."
Setelah menunggu satu persatu anggota kelompok mereka datang, akhirnya kerja kelompok mereka bisa dimulai. Hari ini mereka akan mengerjakan tugas praktikum fisika membuat roket air. Kelompok terdiri dari tiga orang laki-laki dan lima perempuan. Tentu saja yang lebih banyak kerja anak-anak lelaki kalau untuk proyek seperti ini. Anggota perempuan paling hanya membantu sesuai arahan anggota laki-laki.
Membuat roket air gampang-gampang susah. Karena kalau ada kesalahan pada satu bagiannya, roket bisa tidak meluncur. Karenanya sebelum didemonstrasikan di sekolah nanti, mereka harus menguji cobanya lebih dulu.
Matahari sudah rendah di barat saat akhirnya roket itu rampung. Selepas Ashar mereka berangkat menuju lapangan yang ada di kompleks rumah Sofia untuk menguji coba. Beberapa kali roket itu tidak meluncur, sampai akhirnya dipercobaan ketiga akhirnya berhasil. Semua anggota kelompok bersorak girang. Ternyata seru juga menontonnya. Beberapa kali mereka meluncurkan roket mereka sampai hari hampir gelap.
"Yuk. Balik." Ajak Almeera yang rencananya ingin sampai rumah sebelum Maghrib.
Sampai di rumah Sofia, terlihat lima motor berhenti di depan rumah tetangga Kafta. Wajah-wajah tidak asing dari pengendara dan partner boncengnya disambut oleh panggilan dari anak-anak yang baru saja kembali dari lapangan.
"Almeeraaaaa!" Zizi melesat entah dari mana. Ia menghampiri Almeera dan menggaet tangannya.
Almeera sudah menduga, pasti ada Zizi di antara rombongan futsal ini. Mana mungkin dia melewatkan kesempatan emas untuk main ke rumah gebetannya. Cih.
"Fi, kunci rumah dong, ni anak-anak futsal mau pada main." Kafta melepas helm. Motornya kosong, tidak ada siapapun yang nebeng dengannya. "Udah kelar kerkolnya? Lanjut mainlah sini ke rumah gua. Yuk masuk." Kafta mempersilahkan teman-temannya untuk masuk ke rumahnya.
Zizi seenak jidat menarik lengan Almeera.
"Gua mau pulang. Udah mau maghrib." Almeera melepas tangan Zizi.
"Ih kenapaaaaa ... anak-anak kelompok lu belum pada pulang! Mereka juga pada main dulu."
"Gua udah janji nggak pulang malem. Lagian izinnya kerkol bukan main. Gua bawa motor Ayah juga. Harus buru-buru pulang." Almeera masuk ke rumah Sofia.
"Yah ... padahal pada mau main dulu." Zizi mengekori. Ia lalu melihat Sofia. "Fiiii, kok lu nggak bilang sih kalo tetanggaan deket banget gini sama Kafta? Kan lu tau gua suka dia."
Sofia memutar bola matanya. "Lu nggak pernah nanya."
Zizi manyun.
"Sof, gua pulang dulu, ya. Temen-temen gua duluan." Almeera pamit. Ia mengenakan jaket, masker, dan helm-nya.
"Nggak main dulu? Rame tuh di rumah Kafta. Kita pada mau ke sana," kata seorang teman.
"Nggak, deh ..." Almeera mengeluarkan motornya.
"Ya udah. Hati-hati, ya, Al!" Teman-teman sekelompoknya melambai.
Zizi menatap Almeera dari ambang pagar rumah Kafta. Tangannya melambai lemas sementara wajahnya disedih-sedihkan.
"Assalamu'alaikum," ucap Almeera.
"Wa'alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh." Bukan Zizi yang jawab lengkap seperti itu. Tapi cowok yang sama yang menjawab salamnya siang tadi. []
.
.
.
[18•02•2022]
Alhamdulillah chapter 8 rampung.
Happy reading!
See you at 16.00!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Pukul Tiga Pagi dan Sebatang Rokok
SpiritualPerihal pasangan. Almeera tidak pernah berdoa soal jodoh, ia terlalu percaya bahwa suatu hari Tuhan akan mendatangkan seseorang yang paling baik untuknya. Gassan gamang, ultimatum yang diberikan uminya agar ia memutuskan pacarnya yang berbeda keyak...