Terik.
Upacara bendera pagi ini terasa tiga kali lipat lebih berat dari biasanya. Musim kemarau yang melanda sejak bulan Maret lalu masih betah mengayomi hari-hari bulan Agustus ini. Matahari bersinar cerah, memancarkan panas yang rasanya menusuk kulit. Banyak siswa yang mulai berjatuhan, ada yang pingsan karena lemas terjemur, ada pula yang pingsan demi mangkir dari kegiatan rutin hari senin ini. Apa pun alasannya, tim PMR tetap harus siap sedia menggotong mereka ke ruang UKS di sisi lapangan.
Almeera membenahi kerudung putih yang ia pakai seusai menggotong satu anak kelas sebelas yang pingsan. Di sebelahnya, Zizi juga membenahi kacu merah berlambang PMR yang melingkari lehernya.
"Pipi lu merah banget Al," Zizi mendaratkan tangannya di pipi Almeera.
Almeera menghembuskan nafas, "Beginilah keadaan muka gua kalo panas-panasan. Udah rapi belom kerudung gua?"
Zizi mengacungkan jempol.
Di depan sana, Pembina Upacara sedang menyampaikan pidatonya, diiringi bisik-bisik siswa yang mengeluh agar pembina cepat menyudahi pidatonya. Matahari jam delapan pagi di kota Bandung ini rasanya sudah seperti jam dua belas siang saja, sadis.
"Plis banget jangan ada yang pingsan lagi. UKS penuh dan gua udah gak kuat kalo harus ngangkat orang lagi!" Zizi berkata sambil mengusap peluhnya.
"Asli. Kenapa gua nggak kayak orang-orang ya, bisa pingsan gitu ..." Almeera cemberut.
"PMR!" Terdengar suara heboh di sisi kanan lapangan, barisan anak kelas sepuluh.
Zizi mendesah kasar, sementara Almeera sudah berlari kecil menghampiri suara gaduh itu. Di depan lapangan, pembina upacara akhirnya mengakhiri pidatonya.
"Misi," Almeera membelah kerumunan anak kelas sepuluh yang mengerubungi seorang cewek yang pingsan. "Bisa tolong bantu angkat?"
Zizi sigap memegang bagian tengah badan, sementara Almeera kepala, seorang cowok jangkung membantu mengangkat di bagian kaki. Dengan langkah cepat ketiganya membawa anak itu ke UKS, membaringkannya di atas karpet yang tergelar karena kasur yang terbatas.
"Makasih," kata Zizi pada anak cowok yang hanya mengangguk itu.
Sisa upacara berhasil dilewati tanpa ada lagi insiden. Cewek kelas sepuluh ini adalah korban terakhir pagi ini. Anggota PMR akhirnya bisa melepas lelahnya di selasar UKS. Mereka semua duduk begitu saja tanpa repot peduli kotor. Sekardus air mineral gelas di taruh di tengah dan langsung diserbu.
"Gua besok berhenti PMR, ya!" Zizi mengumumkan pada anggota lain yang juga sama teparnya dengannya.
"Yuk semuanya yuk berhenti!" Venita, anak kelas dua belas yang merupakan ketua PMR malah mengajak. "Besok PMR gua bubarin."
"Kak Venita katanya cinta mati sama PMR!" Almeera mengingatkan.
"FITNAH!" Venita geleng-geleng. "Gua lupa kalo upacara kita bakal jadi kuli panggul manusia!"
"Lagian kenapa hari ini banyak banget yang pingsan, sih!" Sungut salah satu anggota.
"Tauk ya! Mana anggota PMR cowoknya cuma dua ekor, sedih banget!"
"Gua yakin banget banyak yang pura-pura doang! Abisnya pas sampe UKS pada seger!"
Almeera menaruh telunjuknya di bibir, ia melotot, "Nggak usah gede-gede ngomongnya, Bih! Kedengeran ke dalam UKS!"
"BIARIN!"
Seorang anak cewek keluar dari pintu UKS, di tangannya ada segelas teh manis hangat yang belum habis. Wajahnya terlihat tidak nyaman, dengan canggung ia lewat membelah selasar di mana anggota PMR berserakan.
"DIA DENGER!" Almeera melotot.
"Biarin!"
-
"Zizi lu ngapain?" Almeera menghampiri Zizi yang terlihat sibuk memandangi lapangan di bawah sana dari balkon kelas mereka di lantai dua.
Jari Zizi bergerak menunjuk anak-anak cowok entah kelas berapa yang sedang bertanding futsal.
"Sejak kapan suka futsal?" Almeera mengernyit.
"Sejak hari ini!" Jawab Zizi tanpa mengalihkan pandangannya dari lapangan.
Almeera menatap aneh, lalu tanpa berkata apapun ia meninggalkan Zizi.
"Lu mau ke mana?" Tanya Zizi.
"Kantin! Ini jam istirahat, Bu!" Jawab Almeera.
"Kok nggak ngajak?" Zizi menyusul cepat.
"Abisnya lu sibuk nontonin futsal!"
Zizi menggaet lengan Almeera, "Kita ke kantin lewat lapangan, yaaa!"
"Ogah!" Sergah Almeera tanpa jeda, "Panas ih lewat selasar aja!"
"Plis plis plis! Gua mau liat Kafta main futsal!" Zizi memohon sambil terus menarik-narik lengan Almeera.
"Oh jadi yang diliat bukan mainnya, tapi pemainnya toh?!" Almeera menatap Zizi, "Lagian siapa si itu?"
"Kafta! Anak sebelas IPS satu! Lu nggak tau?"
Almeera menggedikkan bahu, "Seangkatan dong sama kita?"
"Iya! Ya udah ayo lewat lapangan biar gua kasih tau yang mana orangnya!" Zizi menarik tangan Almeera. "Bisa-bisanya lu nggak kenal Kafta! Lu sekolah di sini udah setahun! Temen seangkatan masih nggak kenal!"
"Yaaa gua emang nggak kenal anak cowok, apalagi yang dikelas lain ..." gumam Almeera yang pasrah diseret menuju lapangan.
Zizi cekikikan sendiri ketika mereka berjalan di pinggir lapangan, "Itu!" Tangan Zizi memukul-mukul lengan Almeera. "Yang nggak pake seragam tu! Yang kaosnya putih! Yang tinggi dekat gawang!"
Almeera mulai mencari. Cukup mudah menemukan si Kafta Kafta ini. Berbadan jangkung, berkaos putih, dekat gawang, ah ternyata itu ... yah, dia terlihat seperti manusia pada umumnya. Ia tidak mengerti kenapa sahabatnya seheboh ini melihat si Kafta.
"Kamu suka sama dia?"
Zizi nyengir, "Ganteng!"
Almeera menoyor kepala Zizi. "Udah liatnya? Yuk ah jalannya buruan! Kok tiba-tiba lu jadi kaya putri solo gini jalannya?"
"Masih mau liat!"
Almeera memutar bola matanya malas. Ia memilih berjalan lebih dulu meninggalkan Zizi yang masih sibuk melihat si Kafta itu. Ia menolak menyia-nyiakan waktu istirahatnya yang sebentar ini untuk melihat cowok tidak jelas. Perutnya yang sekarang meraung lebih penting.
Sisa hari ini Almeera harus puas dengan mendengarkan nama Kafta yang keluar dari mulut Zizi bagai dzikir. Rupanya awal mula ia naksir si Kafta ini adalah kejadian hari senin kemarin saat Kafta membantu mereka mengangkat siswa kelas sepuluh itu. Almeera bahkan tidak ingat, ia baru sadar kalau itu Kafta ketika Zizi memberitahunya.
Beberapa minggu ke depan topik Kafta ini masih jadi trending di perbendaharaan topik Zizi, sampai-sampai anak kelasnya yang lain tahu soal hal ini. Tapi bukannya malas mendengarkan Zizi, mereka malah ikut-ikutan membicarakan Kafta.
Satu-satunya waktu di mana Almeera bisa bebas dari topik Kafta ini adalah saat istirahat sholat dzuhur, karena Zizi beragama Kristen, jadi mereka berpisah sejenak agar Almeera bisa ke mushola dan menunaikan sholat.
Di mushola ramai siswa-siswi muslim menunaikan sholat. Sekolah mereka memang sekolah swasta umum yang menerima murid dari berbagai latar belakang. Selepas mengambil wudhu, Almeera segera menggelar sajadahnya. Di depan anak cowok baru saja memulai sholat berjamaah, ia pun memilih untuk menjadi makmum bersama beberapa anak cewek lain di shaf perempuan.
Selepas salam, Almeera memanjatkan doa, namun perhatiannya terpecah saat sang imam sholat berdiri dari duduknya. Wajah itu tidak asing ... Dialah si pemilik nama yang selalu didzikirkan Zizi seminggu belakangan ini, si Kafta Kafta itu. []
.
.
.
Semangat nulisku selalu pol kalo soal cerita baru! Cuma kebiasaan burukku itu suka bingung di tengah jalan, atau males dan yang jadi korban ya tulisanku.
Mudah2an kisah yang satu ini aku bisa istiqomah sampai selesai nanti.
Rencananya, aku akan up cerita ini tiap senin ....
Doain💪
[29•11•2021]
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Pukul Tiga Pagi dan Sebatang Rokok
SpiritualPerihal pasangan. Almeera tidak pernah berdoa soal jodoh, ia terlalu percaya bahwa suatu hari Tuhan akan mendatangkan seseorang yang paling baik untuknya. Gassan gamang, ultimatum yang diberikan uminya agar ia memutuskan pacarnya yang berbeda keyak...