Suntuk.
Untuk kesekian kalinya Almeera terjebak dalam obrolan soal skripsi. Bersama Tina. Kepalanya sejak tadi sudah mengepul, menahan marah dan sakit sekaligus.
"Al juga nggak mau mandek gini," ujar Almeera kecut.
"Ya terus kenapa nggak dikerjain?" Tanya Tina.
"Bunda kira kalo Al lagi buka laptop itu Al lagi ngapain?" Retoris sekali.
"Ya terus masalahnya di mana? Kamu udah semester sepuluh!"
"Dosen pembimbing Al nggak bisa dihubungin. Beliau pergi konferensi terus!"
"Ya kalo gitu samperin!"
"Ke mana?! Kampus jelas nggak ada! Rumahnya Al nggak tau!" Almeera berseru agak tinggi, ia membanting adonan donat yang sedang ia bentuk dan bangkit.
"Astaghfirullah. Bunda belum selesai bicara Al!"
"Al udah!" Almeera segera mengganti bajunya. Tak lama ia sudah melesat menuju rumah Zizi.
-
"Kenapa tu muka?!" Zizi duduk di atas kasurnya.
Almeera menggeleng. Ia merebahkan tubuhnya di kasur sahabatnya dan memejamkan mata.
"Skripsi lagi?" Tanya Zizi hati-hati.
Diamnya Almeera jadi jawaban yang jelas untuk Zizi.
"Sekarang apa lagi masalahnya?" Zizi sebenarnya agak lelah menghadapi masalah Almeera yang itu-itu saja.
"Al, sori banget gua ngomong gini." Zizi mengambil nafas. "Menurut gua lu sekarang tuh stress berat. Depresi mungkin. Apa lu nggak ada niatan konsul ke ahli? Udah setahun lu begini."
"Udah, deh. Gua ke sini tu biar nggak ngomongin skripsi mulu." Almeera tidak suka ide konsultasi itu. "Kalaupun stress, gua nggak punya kemewahan buat konsul gitu."
"Terus lu mau sampe kapan begini? Kasian lu. Kasian Bunda. Kasian adik-adik lu." Zizi menghela nafas. "Lu pasti tau, lulus dan dapet gelar S1 jauh akan membantu keluarga lu daripada kerja part-time ngajar di mana-mana kayak sekarang."
Almeera mendecak. "Gua kerjain kok skripsi-nya!"
"Iya. Tapi pasti belum maksimal. Lu udah down duluan pas awal gara-gara dospem lu ilang sebulan. Tapi itu kan setahun lalu. Sekarang beliau yang malah nyariin lu, kan!"
"Ya kalo gitu bukan sepenuhnya salah gua!"
"Ya lu juga nggak bisa terus-terusan alasan di ghosting dospem lu!"
Untung ini Zizi, sahabat baiknya, kalau bukan Almeera pasti sudah menghabisinya.
"Gua tuh mau ngomong gini sebenernya udah lama. Tapi nggak berani. Ini sekarang gua deg-degan banget nasehatin lu. Takut lu marah, nggak mau ngomong sama gua. Please, lah ... jangan bikin gua ngomong yang lebih nyakitin lu." Zizi agak memohon.
Almeera memalingkan wajahnya.
"Semakin lama lu stress sendiri, semakin lama juga lu nyiksa diri!"
Sahabatnya diam saja.
"Tuhan lu apa kabar? Dulu lu selalu bilang kalo Tuhan lu bisa bantu hamba-Nya! Sekarang mana? Mintalah sama Dia biar lu nggak stress dan skripsi dilancarin." Zizi berkata sedikit menyinggung.
Almeera memejamkan mata, memutar tubuhnya memunggungi Zizi.
-
"Assalamualaikum." Almeera mengulum senyum dibalik maskernya ketika Ewis membuka gerbang rumah.
"Motornya parkir di tempat biasa, kan, Mbak?"
"Iya, dong."
Almeera memarkir motor bebeknya di belakang motor biru yang familiar. Kata Ewis itu milik keponakan Dian yang sedang liburan di sini.
"Duduk dulu, Mbak, aku paggil Zaki-nya dulu."
Seperti biasa ia duduk di meja makan. Di atas meja sudah ada dua gelas air putih dan beberapa toples kue kering.
Tak lama, Zaki datang dan mengucap salam. "Kak aku mau ada tes masuk SMA, bahas soal-soal bisa nggak, kak?"
"Boleh. Kamu ada soalnya? Atau mau aku yang cari?" Almeera menanggapi semangat. Mengerjakan soal Matematika lebih menyenangkan ketimbang ia harus menjelaskan materi seperti pengayaan.
"Ya Kakak dong. Aku mana ada!" Zaki yang memang sudah merasa akrab dengan Almeera menjawab santai.
"Yeee ... kirain aku kamu punya soal yang mau dibahas gitu!" Almeera meraih ponselnya. "Ya udah kita cari dulu."
"Pake Wi-Fi sini aja, Kak."
"Ada kok paketnya." Almeera mencari di Google paket soal Matematika dan menunjukkannya pada Zaki ketika ketemu.
"Yuk, baca doa dulu sebelum belajar. Rabbi zidni 'ilman war zuqni fahman. Aamin."
Zaki mengusap tangannya ke wajah dan meraih pensilnya.
"Coba dulu sendiri." Almeera memperhatikan ketika Zaki mulai mengurai soal aljabar sederhana.
"Zaki!" Terdengar suara laki-laki memanggil dari ruang tengah.
"Apa?" Zaki menoleh sekilas. Almeera juga, tapi tidak menemukan sosok pemilik suara.
"Mas pinjem charger HP, dong! Ada di mana?"
"Ada di laci meja PC!" Jawab Zaki. "Mas Gassan jangan acak-acak kamarku!"
Terdengar suara tawa renyah, "Iye, ah, puber amat!"
"Tumben dia ada?" Gumam Almeera.
"Tau tuh. Biasanya main terus." Zaki menggedikkan bahu. "Kakak udah nikah?"
"Belum. Kenapa tanya itu?" Dahi Almeera mengerut dalam.
"Yaa ... nggak papa. Mas Gassan tu lagi dicariin jodoh." Zaki tertawa geli.
"Hm?"
"Mas Gassan mau dijodohin gitu, deh ..." anak cowok itu menggedikkan bahu. "Kali aja Kakak juga lagi cari jodoh."
Ha.ha.
-
Tina tiba-tiba melontarkan tawaran tidak masuk akal pada Almeera pagi ini. Bahwa ia akan dijodohkan dengan salah seorang anak kenalannya yang sedang mencari calon istri.
"Apaan, sih, Bunda?!" Almeera tidak bisa menahan rasa kesalnya. "Seriusan Al mau dinikahin karena nggak lulus-lulus?!"
"Ya nggak. Kan ini baru mau taaruf aja. Belum pasti, Kak."
"Ya Al juga nggak mau taaruf! Belum siap Al!"
"Taaruf belum tentu menikah! Dicoba aja dulu." Tina membujuk. "Laki-lakinya baik. Dari keluarga baik-baik juga. Kan kamu tau, kalo ada laki-laki baik yang datang, nggak boleh nolak!"
"Nggak, Bunda!" Almeera mengucap istighfar pelan.
Muak dan takut. Almeera hari ini akhirnya pergi ke kampus. Untuk mengurus skripsinya yang terbekalai. Supaya tidak dijadikan Siti Nurbaya zaman now. Ia memberanikan diri menghadap dosen pembimbingnya yang tak henti-hentinya menyuruh menghadap. Di bawah naungan langit yang gelap bergemuruh, Almeera memeluk erat map berisi print out BAB 3-nya.
Perempuan berhijab coklat susu itu sudah mengira kalau ia akan dihabisi. Dalam diam Almeera menerima semua ocehan Inayah, dosen pembimbingnya. Ia sadar diri dan cukup merasa bersalah. Untunglah di ujung wejangannya, ia masih mau menerima BAB 3 skripsinya.
"Ni revisi. Saya kasih waktu dua minggu. Jangan ngilang lagi!" Inayah menyerahkan print out skripsi Almeera yang sudah dicoret sana sini.
"Makasih, bu."
Hujan itu akhirnya turun. Almeera terjebak di halte depan kampusnya, ketika seorang cowok basah kuyup, turun dari motornya, duduk di sebelahnya dengan sebungkus rokok yang juga basah kuyup dan ponsel yang rusak. Kafta. Kenapa cowok ini ada di sini? []
.
With love,
fm
[15•03•2022]
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Pukul Tiga Pagi dan Sebatang Rokok
SpirituellesPerihal pasangan. Almeera tidak pernah berdoa soal jodoh, ia terlalu percaya bahwa suatu hari Tuhan akan mendatangkan seseorang yang paling baik untuknya. Gassan gamang, ultimatum yang diberikan uminya agar ia memutuskan pacarnya yang berbeda keyak...