"Xiaojun berhenti berdiri di sana! masuk!" seruan itu berasal dari dalam rumah. Xiaojun menatap ke atas sejenak, langit kelam dengan sedikitnya bintang. Mungkin karena tertutup oleh awan, polusi kota ini juga lumayan banyak. Tangannya bergerak menyentuh kepala, aneh saja pikirnya sejenak.
Hanya dengan sentuhan seperti itu dari seseorang, bukankah harusnya dia biasa saja?. Rasanya jantung ini mampu meloncat keluar akibat tidak kuat lagi. Sekujur tubuhnya sempat membeku tanpa alasan, wajahnya yang semula biasa saja berubah memanas dan dengan cepat Xiaojun sulit melukis rasa apa yang ia rasakan. Mungkin ini reaksi yang sering orang-itu bicarakan soal perasaan. Bukankah ia menyukai Hendery? Xiaojun menutup senyum tipisnya dengan cepat berbalik untuk masuk.
Kabut malam ternyata ikut masuk juga ke dalam rumah. Ibunya, wanita pekerja keras namun juga keras kepala kini duduk sembari menatapnya tajam. "Apa yang membuatnya kemari?."
Xiaojun tahu Ibunya pasti akan menanyakan hal itu. Namun, akan sangat tidak mungkin Xiaojun bilang kalau alasan Hendery kemari karena membantunya juga beberapa alasan krusial yang implisit. Termasuk janji yang ia berikan, mendorong pertemuan mereka sejauh ini.
"Guru memintaku mengajarinya karena sebentar lagi dia ada ujian,"
Wanita itu nampak mengerti, termasuk percaya juga.
"Bagaimana lukamu? biarkan aku mengganti perban dan mengobatinya."
Xiaojun menggeleng pelan, "Tidak perlu, sudah kulakukan..." . Saat mengingat bagaimana Hendery tadi melakukannya, wajah Xiaojun langsung terbakar karena perasaan aneh. Jelas sekali dalam ingatan bagaimana wajah Hendery yang begitu dekat serta terpaan napasnya hangat. Bau nikotin itu juga lama-kelamaan menjadi bau candu yang sangat mengikat Xiaojun pada si pemuda Wong. Sebelum sang Ibu menyadari wajah bersemu merah milik Xiaojun, pemuda itu sudah pergi ke kamar dengan tergesa-gesa.
Demi berhenti memikirkan hal-hal aneh, Xiaojun putuskan untuk belajar. Katakanlah saja Xiaojun adalah seorang maniak belajar, dimana dia enggan ketinggalan satu materi-pun atau gagal dalam ujian. Sifat ambisiusnya sangat persis seperti Ayahnya, dorongan untuk menjadi yang terbaik.
Ngomong-ngomong soal sang Ayah, Xiaojun tahu pria itu sebenarnya adalah pria bertanggungjawab. Dia masih menyekolahkan Xiaojun, memberikan jaminan pendidikan bahkan pekerjaan di masa depan. Namun, keegoisan selalu membawanya kemari untuk merebut Xiaojun dari tangan sang Ibu. Xiaojun berdecak pelan mengingat seluruh ingatan kelam seperti monster yang bersarang dalam dirinya.
Masa kecilnya yang hancur bak vas kaca yang jatuh dan tak bisa di satukan kembali. Potongan-potongan itu selalu menusuk hatinya, Xiaojun enggan mengungkitnya juga.
Berhenti sejenak, sudut mata Xiaojun melirik ke arah benda bewarna merah. Apalagi kalau bukan notebook merah yang sering ia ungkit. Buku persegi yang memiliki ukuran minimalis dan nyaman di genggam dengan satu tangan. Sudah lama ia memiliki buku itu, walau dia jarang menulis sesuatu di sana. Beberapa lembar halaman buku itu sudah diisi oleh cerita sensitif yang Xiaojun alami.
Jemari tangannya bergerak meraih pena, mulai menorehkan tinta diatas kertas bergaris-garis itu. Sudut bibirnya tertarik dengan sedikit aneh, melengkung membentuk kurva ke bawah hingga mampu terlihat senyum kecil di sana. Keterikatan aneh dengan perasaan dan hati orang lain begitu banyak mengajari Xiaojun untuk memahami sekian rasa.
Xiaojun juga menuliskan begitu berbeda sekali harinya akhir-akhir ini sejak interaksi antara dia dan Hendery tercipta semakin erat.
Ada yang mengajariku bagaimana rasanya tersipu, malu, gugup, bahkan berjuang untuk hal-hal yang tidak terjelaskan.
Oh, siapa lagi toh kalau bukan Hendery yang jadi topik semesta milik Xiaojun kini.
"Xiaojun? keluar sebentar!"
Seseorang berseru dari luar kamarnya, Xiaojun dengan segera bangkit dan membuka pintu. Begitu terkejut saat mengetahui siapa yang berdiri di samping Ibunya dengan kondisi wajah 11-12 dengan miliknya.
"Selamat malam nak, bisa Ayah minta waktumu sebentar?"
[👨🚀]
Mobil sedan hitam memasuki pekarangan rumah megah. Kolam air mancur yang berbentuk ikan koi di tempatkan tepat di tengah halaman luas itu. Mobil bermanuver sedikit berbelok untuk mengikuti jalur yang di sediakan berhenti tepat di depan pintu garasi. Hendery segera keluar, membernarkan sedikit anak rambut yang berantakan menutupi mata.
Beberapa maid langsung menyapanya dan menanyakan apakah Hendery hendak makan malam. Hendery menggeleng pelan untuk menjawabnya, dia berjalan gontai kemudian naik ke lantai dua untuk ke kamar.
Saat akan melewati kamar orangtuanya, Hendery menemukan sang Bunda tengah berbicara dengan seorang pria berjas putih lengkap dengan kacamata. Keduanya memasang wajah tegang dan begitu serius, membuat Hendery penasaran.
"Bunda..." Hendery bercelentuk kepada wanita yang mengenakan dress pendek kasual. Wanita itu balik menatap Hendery dengan tatapan sulit diartikan apakah cemas, marah, atau sedih.
"Ayahmu sakit, seusai makan malam dia kejang-kejang dan jatuh tidak sadarkan diri. Dokter berkata ada sesuatu yang menganggu peredaran darahnya di kepala." Bunda memainkan jemari lentiknya dengan gusar. Sangat jarang Hendery melihat Ibunya seperti ini, dia benar-benar cemas.
Hendery ikut menatap ke dalam kamar, melihat seorang pria paruh baya yang selama ini sering mengatainya, marah-marah padanya, bahkan tak jarang berlaku kasar juga dengannya. Hanya dapat terbujur kaku di atas tempat tidur yang berbalut selimut. Mata yang sering menatap Hendery tajam dan menusuk itu terkatup rapat damai. Hendery merasakan gejolak aneh sesaat, dimana dia merasa cukup bersalah juga. Mungkin selama ini dia yang membuat sang Ayah stres sampai orang tua itu jatuh sakit.
"Bersihkan dirimu dulu, jangan khawatir padanya."
Siapa yang khawatir?, Hendery yakin orang tua itu juga akan segera bangun juga. Pemuda itu segera pergi ke arah kamar, namun, lagi-lagi ada sesuatu yang menghalanginya. Sang saudari yang berdiri menatapnya dari depan pintu kamar. Jelas sekali wanita itu juga hendak memarahi Hendery juga, namun dugaan Hendery sedikit meleset. Kakak perempuannya itu, adalah figur kakak yang sangat bertanggung jawab. Selain Ayahnya, Kakaknya ini juga yang selalu siap memarahi Hendery atas setiap sikapnya.
"Hebat sekali, sekarang kau bebas."
"Apa maksudmu?"
Hendery seratus persen tidak mengerti kenapa wanita muda ini mengatakan hal itu.
"Jangan menatapku seperti itu—–kau menyadarinya juga Ayah sakit karena kelakuanmu itu! sudahlah Kunhang! bisakah kau sekali saja jadi putra baik untuknya? lihatlah sejauh apa Ayah kita bekerja dan berjuang untuk memberikan kenyamanan hidup seperti ini."
Hendery mengepalkan tangannya, dia benar-benar mengerti soal itu. Satu hal yang membuatnya tidak mau menuruti kemauan sang Ayah adalah, Hendery kerap gagal mencapai hal itu. Dulu sebelum perilaku ini ada padanya, Hendery adalah murid yang baik. Dia selalu mendapatkan pujian juga sih, tapi Hendery selalu kalah. Anggap saja Hendery memang ingin mendapatkan sebuah kesempatan untuk duduk di podium teratas, berbicara soal kemenangannya yang susah payah ia dapatkan. Tapi Hendery gagal, lagi dan lagi, kegagalan itu bukan berarti ia tidak mendapat nilai sempurna atau tidak rangking satu dikelas. Tapi kegagalan memuaskan hati sang Ayah, Ayahnya akan terus menuntut dirinya lebih dan lebih. Tidak menghiraukan bagaimana satu kemenangan itu sangatlah sulit Hendery dapatkan.
Tekanan itu sebenarnya juga datang dari rasa irinya kepada sang Kakak perempuan. Wanita muda itu selalu di elu-elukan oleh sang Ayah. Bahkan untuk hal-hal kecil, seperti bisa menyisir rambutnya sendiri?! kenapa Hendery perlu pontang panting jikalau dia juga tidak dihargai dan terus di tuntut?.
Iris Hendery memutar malas, memilih mengabaikan sang saudari dan masuk ke kamar.
Ia menanggalkan pakaian dan membuka jendela kamar. Naik dan duduk di sana seraya merokok. Angin malam mungkin bisa membuatnya masuk angin juga. Tapi kepalanya sedang tidak tenang dan berkecamuk. Hendery hanya perlu waktu untuk melepaskannya dan memikirkan cara terbaik mengatasinya.
— henxiao
KAMU SEDANG MEMBACA
meant to be⟪✔⟫ [REVISION]
Fanfiction[➡️📚‼️]🔚 (🖇️) Xiaojun hanya penasaran akan sebuah perasaan namun takdir membawanya untuk jatuh hati kepada Hendery Wong. Berandal sekolah yang paling terkenal, hanya karena latar belakang keluarganya. Kisah mereka yang sederhana seolah bertemu ko...