00° 14 %

303 58 4
                                    

Udara pagi itu jauh lebih dingin dari yang Xiaojun pikir. Tangannya bahkan membeku ketika menyentuh air untuk mandi. Sempat menggigil juga, namun pada akhirnya Xiaojun tetap berangkat sekolah. Tapi dengan mengenakan hoodie juga kaus kaki lebih tebal. Iklim dunia semakin sulit di tebak, salah satunya kenapa hari ini begitu dingin. Xiaojun keluar dari kamar, bergabung di meja makan untuk sarapan. Melihat pria yang mengenakan kemeja namun lebih sedikit santai.


Setelah apa yang dia dan Pria itu, Ayahnya, bicarakan baik-baik semalam. Keadaan menjadi terasa sangat aneh, dimana Ibunya yang biasanya dingin dan bersikap apatis kini rela bangun pagi untuk--membuatkan pria itu secangkir kopi?!. Xiaojun sulit percaya hal itu, ini berubah terlalu cepat dan terlalu mengejutkan.

"Selamat pagi nak, mau sarapan bersama?"

Sangat sulit diterima—Xiaojun puluhan tahun hidup jauh dari kasih sayang. Sejak kecil, dia sering melihat kegaduhan seperti jati diri yang melekat pada keluarganya. Sosok Ayah yang berego, Ibu yang keras kepala.

"Diantara kita tidak ada yang bisa diubah, luka itu, ataupun bagian dari diri yang hilang. Jauh dalam lubuk hatiku, aku rindu sesuatu dan sesuatu itu adalah kalian. Mungkin, kalian berpikir buruk tentangku karena sikapku--aku tahu itu dan itu tidak salah. Semua ini salahku lantas biarkan aku yang memperbaikinya..."

"Bisakah kalian memberiku satu kesempatan berharga, hanya satu kesempatan untuk memulai lagi segalanya dengan hal-hal baru layaknya apa yang seharusnya kita dapatkan?"

Begitu dalamnya perkataan pria itu semalam membuat Xiaojun yang semula menolak mentah-mentah kedatangannya, hanya mampu terhenyak. Getaran hebat ia rasakan di dada, seperti sesuatu yang lama dicari dan akhirnya ia temukan. Harapan, sejenis itu, Xiaojun masih ragu untuk mengiyakannya. Namun, apa salahnya memberikan satu kesempatan?. Mungkin harapan akan adanya perubahan itu dapat dipercaya.

"Baik." Xiaojun duduk di samping pria itu. Wajahnya yang juga terluka akibat kejadian itu tidak jauh berbeda dengan Xiaojun. Ibu menatap keduanya dalam diam, menyiratkan sesuatu tapi Xiaojun tidak tahu apa.

"Mau kuantar ke sekolah? sudah lama aku tidak melihat sekolahmu juga." Ayah Xiaojun bercelentuk riang, seraya kembali menyeruput kopi dengan tenang. Xiaojun menggeleng pelan, dia masih terus menghadirkan jarak diantara keduanya--Xioajun hanya trauma, dan dia memang cukup berhati-hati.

"Dia terbiasa berangkat sendiri, jangan berlebihan," itu sang Ibu yang membalas. Ayah Xiaojun hanya tersenyum tipis, lanjut untuk menyesap kopi. Sementara Xiaojun menyantap sarapannya dengan tenang. Selama itu hanya Ayahnya dan Ibunya saja asik mengobrol, bertanya satu sama lain menumbuh suasana asing bagi Xiaojun. Asing dalam artian suasana yang tidak ia rasakan sebelumnya.

"Aku berangkat."

Xiaojun mendengar seruan 'hati-hati' dari dalam. Ia hanya mengangguk tipis kemudian keluar dan segera berlari ke halte. Biasanya kalo dia berdiri seperti ini, dalam waktu yang tidak lama Hendery akan datang. Entah darimana—–bukankah rumah mereka agak jauh kenapa Hendery perlu berjalan dan kemari untuk naik bus? dia kaya raya bukan?.

Meninggalkan kebingungan itu, Xiaojun naik ke dalam bus yang datang. Bersamaan dengan beberapa siswa lainnya yang memakai seragam sama seperti dirinya. Hanya saja kebanyakan dari mereka memakai jaket dan sesuatu yang lebih tebal untuk melindungi tubuh. Iklim dingin ini mungkin akan bertahan lebih lama.

Sesampainya di sekolah, Xiaojun langsung mendapati Kun menunggunya dengan wajah suram.

"Ada apa?" Xiaojun mengeluarkan buku dan dengan kebingungan menatap Kun. Pemuda itu berdecak, "Aku menelfonmu semalam, tapi Hendery yang menjawab telfonnya"

meant to be⟪✔⟫ [REVISION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang