00° 9 %

297 65 11
                                    

Ada yang aneh, Xiaojun menatap kepergian Hendery seperti gambaran kemarahan yang terpendam. Pemuda itu bahkan berjalan cepat dan bersikap seolah-olah tidak mengenal Xiaojun. "Apa yang kalian bicarakan?" Xiaojun tidak bohong, dia melihat Kun dan Hendery bicara. Raut wajah keduanya bahkan nampak tegang satu sama lain. Layaknya musuh bebuyutan yang tengah saling berhadapan dan beradu argumentasi. Xiaojun juga menangkap tatapan tajam yang Hendery berikan kepada Kun, begitu juga sebaliknya. Xiaojun memang bukan seorang pembaca raut wajah, tapi dia mengetahui hal itu secara jelas.


Kun mengibaskan tangannya, "Bukan apa, kau tahu murid nakal selalu ingin cari masalah."

Xiaojun menghela nafas, enggan berbicara lagi. Dia sudah menyelesaikan makanannya dan hendak bangkit. Namun tangan Kun selalu bersedia membantunya, itu membuat Xiaojun risi. Walaupun Kun adalah sahabatnya, menjadi sosok lemah bukanlah hal yang Xiaojun sukai. Seolah-olah dia harus selalu disediakan tangan untuk berdiri padahal dia juga punya kaki sendiri yang mampu.

Xiaojun sedikit mendorong tangan Kun, dia berjalan sedikit tertatih karena otot kakinya sempat kejang akibat melempar tendangan semalam. "Kau mau kemana?" Kun bertanya, mengikuti langkah kaki Xiaojun. "Kelas," balas Xiaojun seraya mempercepat langkahnya.

Dia tidak ingin ketinggalan pelajaran lebih lama, atau Ibunya akan marah.

"Aku tidak mengerti sama sekali, kau sedang terluka dan lihat lukamu saja masih segar menganga seperti itu. Tapi kau tetap masuk sekolah?"

Xiaojun memicingkan matanya, jengah mendengar Kun terus-menerus membahas tentang itu. "Kau berkata seperti itu seperti orang yang tidak mengenalku."

Kun mengatupkan bibirnya, dalam hati dia menyadari perilaku khawatirnya membuat Xiaojun tidak nyaman. Keduanya berjalan ke kelas bersama, sesampainya di sana Xiaojun langsung duduk. Beberapa siswi dengan wajah malu-malu memberikan Xiaojun catatan pelajaran tadi.

Xiaojun hanya menerima serta mengatakan terimakasih.

Untung saja lengan kanannya tidak begitu terluka. Sehingga Xiaojun masih dapat menulis, hanya saja, luka lebam di wajahnya ini membuatnya sering kesakitan juga. Apalagi kalau dia harus sedikit tersenyum untuk membalas pertanyaan guru mengenai wajah lebamnya ini. Dia tidak bisa berikan alasan yang jelas, sesuai perintah Ibunya tadi, Xiaojun hanya perlu bilang ; Saya jatuh karena tidur berjalan.

Xiaojun berpikir alasan itu mutual juga, namun terdengar lucu dan mempermalukan dirinya juga.

Ini semua karena Ayahnya, pria ber-ego tinggi yang tiba semalam untuk memaksa Xiaojun ikut dengannya. Padahal keputusan pengadilan jelas sudah, Xiaojun akan tinggal bersama Ibunya--namun dapat diubah apabila Xiaojun menginginkan tinggal bersama Ayahnya atau orang lain yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Xiaojun. Sayang sekali, pria keparat itu sebenarnya hanya menginginkan Xiaojun untuk meneruskan posisinya dalam dunia politik. Mungkin tahun depan Ayahnya itu akan mencalonkan diri sebagai wakil presiden atau Walikota.

Masih segar dalam ingatannya, semalam bagaimana dia mendapatkan seluruh luka di wajah ini. Untungnya Xiaojun melawan atau kalau tidak-kondisinya bisa lebih buruk dan harus dirawat di rumah sakit. Ibunya datang memisahkan mereka dan juga mengusir keparat itu dari sana. Mereka berteriak satu sama lain, barulah sampai Ibunya mengancam menelpon polisi Ayahnya baru pergi.

"Kau adalah anaknya bukan? harusnya luka seperti ini bukan masalah untukmu, berangkatlah sekolah." dan perkataan Ibunya juga menyakiti hatinya. Sikap dingin ini di ajarkan oleh sang Ibu, sifat keras ini diajarkan dari sang Ayah. Xiaojun tidak pernah mengenal bentuk kasih sayang yang utuh seperti apa. Ironis sekali, disaat dia adalah murid dengan julukan terbaik, memiliki lingkungan keluarga yang buruk.

meant to be⟪✔⟫ [REVISION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang