[e]21,0%

270 50 2
                                    

- we're meant to be -

"Aku akan menunggumu.."

"Biarkan aku menunggumu, sampai aku bisa memilikimu seutuhnya..."


Hendery mengerjap terbangun karena hembusan angin mimpi yang seolah-olah memaksa kesadarannya naik. Ia mengucek mata, menyapu setitik air mata yang entah darimana membasahi pelupuk. Tubuhnya yang tiba-tiba terasa pegal di sana-sini, membuatnya mengerang macam kakek tua terkena penyakit osteoporosis. Hendery bangkit, mengumpulkan kesadarannya barulah ia mulai mengembalikan ingatan realita. Dia berada di rumah sakit, tepatnya ruang tunggu rumah sakit yang sepi. Satu hal lagi yang ia ketahui, kenapa bisa tubuhnya pegal-pegal. Dia tidur di kursi ruang tunggu, membiarkan punggung mudanya menempati tempat dingin dan keras semalaman.

Hendery lantas pergi ke kamar mandi, sekedar buang air kecil dan cuci muka. Kemudian ia menyusul kembali ke ruangan inap Ayahnya. Sebenarnya ruangan inap Ayahnya, adalah ruang inap VIP. Sehingga kamarnya cukup luas dan fasilitas lengkap. Tapi Hendery tidak bisa meninggalkan Ibunya di sana semalaman. Jadi, ia tak memilih pulang ke apartemen sementara yang disediakan untuk mereka tempati selama berada di sini.

Hendery membuka pintu pelan, menyisakan derit pelan dari si engsel pintu. Irisnya menemukan siluet tubuh wanita yang sudah sibuk dengan beberapa potong pakaian.

"Hendery? sudah sarapan?" Ibunya bertanya. "Belum, bagaimana keadaan Ayah, Bunda?" Hendery melirik sesaat, sampai ia menyadari bahwasanya pertanyaan barusan akan mendapatkan jawaban yang sama.

"Dia masih tetap sama, tenang saja dokter bilang selama alat-alat itu tidak berhenti bekerja dia akan membaik seiring waktu, berdoalah."

"Ayo pulang, Bunda harus membersihkan rumah dan mencuci juga memasak sarapan untukmu 'kan?" wanita itu tersenyum, menutup tas. Kemudian membiarkan Hendery membawanya. Keduanya kembali ke hunian sementara di sebuah gedung apartemen dekat rumah sakit. Sengaja begitu agar mudah bolak-balik rumah sakitnya.

Sementara Ibunya berkutat dengan dapur, Hendery memilih untuk mandi dan membersihkan rumah. Mengecek keadaan listrik juga tagihan yang mendadak terselip di kotak surat. Buru-buru ia menelepon kakaknya, "Tagihannya sudah datang? cepat sekali——itu berarti sudah lewat satu bulan kalian di sana."

Kakak perempuannya mengatakan demikian.

Hendery merasa tertekan, berarti dalam waktu selama ini tak ada kemajuan berarti sama sekali dengan keadaan Ayahnya. Kata Ibunya, Ayahnya tengah mengalami penurunan kesadaran alias koma. Itu masuk akal juga, mengingat alat-alat yang dipasang mengelilingi tubuh pria itu bekerja terus menerus.

"Bagaimana kabar Bunda? aku harus mengerjakan banyak hal jadi maafkan aku kalau tidak sempat menelfon kalian."

"Bunda baik, aku baik."

"Syukurlah," kata si sulung, "Lalu Ayah?" dia mulai bertanya. Hendery menggigit bibir. "Dia tetap sama, dalam keadaan koma."

"Aku rasa kankernya mulai semakin parah, apakah dokter disana becus mengurusnya? aku sudah gelontorkan banyak uang untuk operasi ini~itu, jangan sampai mereka gagal menyembuhkannya."

Hendery merasa semakin tertekan, mendengar suara parau sang Kakak yang nampaknya dalam keadaan tidak fit juga. Mungkin mengurus perusahaan sang Ayah dan perusahaannya sendiri mungkin membuatnya kalut. Hendery meneguk ludah, "Aku tidak yakin,"

"Jangan bercanda, kau yang menyebabkan semua ini. Harusnya kau mulai menyadari bahwa ada baiknya untuk takdir tak main-main dengan nyawa Ayah!"

Hendery menekan dadanya, hantaman nyeri itu seketika mendorong luapan emosi memenuhi sanubari. Ya, ini salahnya, oke, dia terima ribuan caci maki kakaknya yang begitu gamblang nan lugas. Tapi, Hendery ingin berubah, dan bukan berarti ia bisa melakukannya dengan mudah. Dia bukan Tuhan, Yang sanggup menyembuhkan manusia sekarat. Apalagi untuk mengembalikan waktu dan merubah sikapnya sejak dulu. Lagipula apa benar Ayahnya sakit karena sikapnya?.

meant to be⟪✔⟫ [REVISION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang