- we're meant to be -
Xiaojun menatap genangan air di pinggir jalan dekat halte. Memantulkan bayangan langit yang hendak menangis lagi. Mendung pekat begitu kelabu gelap, tatapannya kosong seketika. Seolah-olah Tuhan sudah mengambil warna dan emosi pada binarnya. Xiaojun mengeratkan tas sekolahnya, berpikir tentang peluangnya untuk menghindari hujan. Tapi sesaat kemudian ia menyadari, mungkin hujan tidaklah seburuk itu untuk dihindari.
Mungkin hujan mampu membasahi hatinya, dan meluruhkan luka pekat yang menggenangi dirinya.
Bus kemudian datang, Xiaojun naik lebih cepat. Bersyukur kala itu bus tak padat, ada sisa ruang untuk ia duduk menatap jendela.
Dia merasa ada yang hilang, entahlah sesuatu.
Dulu ia berpikir, bagaimana dunia jikalau dipandang dari sepasang netra insani yang tenggelam dalam asmaraloka?. Bagaimana mereka selalu terlihat seperti orang gila dalam sekejap hanya karena sebuah afeksi?. Xiaojun mengetuk kaca, perlahan-lahan dan pasti muncul setitik dan setitik tetes air mata langit. Xiaojun pernah merasakannya? hanya sebentar saja. Apakah berarti ini memanglah bukan jalan untuknya?.
Demikian gambaran kecil peta dalam kepala Xiaojun. Ia yang genap kala itu memaksa untuk tidak mengukuhkan perasaan, hanya mampu terdiam saat bayangan-bayangan beku waktu sekejap muncul menusuk kalbu.
"Aku akan menunggumu..."
Itu terasa cukup lama, dia sudah menunggu selama ini. Dia sudah berharap lebih banyak dari itu, dia hanya ingin semesta memberinya lebih banyak waktu untuk belajar. Bagaimana cara membuat orang yang kau sukai, berada disisimu untuk selamanya.
Mustahil.
Ia hidup dalam lingkungan abu-abu yang kaku. Mendiami sebuah rumah reyot yang sempat hancur dan rubuh atas pertengkaran, lalu kemudian waktu memberikan rumah itu kesempatan kedua untuk bangun. Tapi hatinya sudah jatuh terluka, banyak hal yang membuatnya menjadi takut.
Kehilangan dan terluka apalagi.
Hujan mulai turun, untaian air mata langit itu mendadak mendinginkan bumi. Membasahi tanah-tanah, menguarkan aroma segar yang amat disukai indra hidungnya. Bentala menjadi hidup, lebih terasa berbeda ketika hujan menyapa. Xiaojun melindungi tasnya, berlari menerjang hujan. Dingin kala itu yang sempat ia benci kini jadi penutup, dia lelah untuk takut.
Dia ingin mengutuk, berkata bahwa hatinya jauh lebih sakit kali ini. Ada sebuah bagian besar darinya yang hilang tiba-tiba. Xiaojun benci terjebak didalamnya. Dia berusaha untuk tidak egois, berusaha tegar, tapi sesuatu yang aneh membisiki tiap-tiap malamnya. "Xiaojun, aku juga suka padamu..."
Suara itu lagi, rusuh menubruk hatinya.
Xiaojun tiba di depan rumah, tepat pada teras ia mengatur nafas. Lambat laun jantungnya bukan semakin tenang, melainkan meledak tidak karuan. Tak cukupkah cintanya? atau cinta harus sebanyak itu untuk menang dalam pertarungan?. Butuh berapa banyak? dan bagaimana?. Xiaojun terdiam, badannya menggigil seketika. "Xiaojun mari kita berpacaran..."
Hantaman memori itu pecah berkeping-keping, melebur menjadi timah panas. Membentuk sebilah pedang yang sudah menancap di sanubari. "... mungkin kita sebaiknya berhenti disini."
Xiaojun menangis untuk hal yang paling tidak ia mengerti. Ini hanyalah perasaan yang bermain ria seperti sekumpulan kupu-kupu dalam benaknya. Ketika ada badai kupu-kupu itu akan hilang, ketika taman bunga itu tandus mereka juga akan hilang. Jadi ada logika sederhana, lepaskan apabila kau tak mampu miliki. Ikhlaskan apabila mereka hendak pergi, karena sekumpulan kupu-kupu di itu tak berhak kau kekang. Mereka berhak mendapatkan ladang bunga yang lebih indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
meant to be⟪✔⟫ [REVISION]
Fanfiction[➡️📚‼️]🔚 (🖇️) Xiaojun hanya penasaran akan sebuah perasaan namun takdir membawanya untuk jatuh hati kepada Hendery Wong. Berandal sekolah yang paling terkenal, hanya karena latar belakang keluarganya. Kisah mereka yang sederhana seolah bertemu ko...