Sherrie menggeleng di awal, "Sherrie tidak tahu ayah dan ibu jadi bagaimana Sherrie dapat menyayangi mereka sedangkan mereka saja tidak peduli Sherrie disini? Yang Sherrie sayangi adalah Tuhan, kak Thersa dan kak Ray kali ini!" Perkataan Gadis kecil disampingnya itu membuat hati Thersa luluh, bahkan anak kecil sepertinya saja bisa berkata seperti itu, bukankah itu lebih menyakitkan? Thersa langsung saja memeluk Sherrie dengan air matanya yyang turun atas kemauannya sendiri. Sherrie yang tdak tahu apa-apa pun hanya dapat membalas pelukan Thersa sambil tersenyum.
"Terima kasih kak..." Thersa mengusap air matanya setelah itu, Ia merasa tak kuat melihat senyuman suci milik Sherrie itu. Lebih menyakitkan dibanding seluruh kejadian yang Ia terima.
"Apa kak Thersa memiliki mimpi?" Tanya Sherrie lagi. Lagi-lagi Thersa harus terdiam dengan sejuta kebingungan.
Dimanakah mimpinya? Diamanakah seluruh harapannya? Selama Ia hidup di kota ini Ia benar-benar merasa mimpinya telah pergi tanpa mau kembali untuk melingkarinya. Ia telah merasa seluruh mimpi-mimpi itu tak ada lagi gunanya. Buat apa untuk bermimpi sedangkan dirinya saja telah seperti ini. Jika diingat-ingat dulu...
***
Flashback
"Ibu, bolehkah aku bermimpi?" Seorang gadis kecil dengan rambut blonde nya yang diikat manis bertanya dengan lucu.
"Tentu saja Thersa." Jawab seorang wanita yang tengah mengelus pelan kepala bagian belakang gadis kecil itu yang tak lain lagi adalah Thersa.
"Tapi aku tidak tahu ibu..." Gadis kecil itu menggeleng pelan.
"Bagaimana Thersa bisa tidak tahu?" Tanya wanita tersebut yaitu ibunya.
"Thersa tidak tahu apa itu mimpi, kenapa teman-teman selalu saja bercerita tentang mimpi sedangkan Thersa sendiri tidak tahu apa itu mimpi." Thersa berkata sembari menatap rerumputan hijau di bawahnya.
"Mimpi adalah suatu kata yang akan kamu wujudkan di masa depan Thersa. Dengan kata Mimpi Kamu akan mendapatkan kehidupan yang kamu inginkan. Tapi Mimpi itu tidaklah mudah untuk digapai, Mimpi tentu saja sulit digapai tapi tidak akan sulit jika kamu berusaha dengan niat yang besar dan Tuhan akan mewujudkan mimpi itu dan memberikannya padamu, tidak jika kamu hanya mengharapkannya tanpa usaha dan niat yang hanya didepan bukan dari hati yang terdalam. Maka dari itu Thersa juga harus memiliki Mimpi yang sangaat tinggi dan setelah memiliki mimpi Thersa harus mencapainya dengan usaha Thersa sendiri." Thersa manggut-manggur mendengar seluruh penjelasan ibunya.
"Aku ingin tinggal di Paris ibu! Apakah itu sebuah mimpi?" Tanya Thersa dengan antusias.
"Ya! Itu adalah sebuah mimpi yang bagus Thersa!" Jawab Ibunya dengan bangga pula.
"Jadi, usaha apa yang harus kulakukan bu?" Tanya Thersa bersemangat.
"Thersa harus belajar dengan giat!" Jawab Ibunya menyemangati.
"Baiklah bu! Aku akan pergi ke Paris di masa depan nanti!"***
Ya mungkin hanya itu saja mimpinya yang membuatnya semangat untuk hidup, tentu Ia mengingat kehidupannya dulu. Dimana kamarnya berhiaskan poster-poster Eiffel Tower dengan wallpapernya kamarnya juga, dan Seprainya semuanya berhiaskan Paris yang membuat motivasi semangatnya muncul dalam dirinya untuk bisa belajar lebih giat. Tak hanya itu Ia juga memiliki guru les privat bahasa Perancis yang selalu datang di setiap hari. Selain itu buku-buku pelajaran, kosakta dan semua berbau Perancis Ia beli sampai memiliki Rak tersendiri untuk koleksi Buku Perancis, dan juga ada beberapa novel berbahasakan Perancis.
Tapi dulu adalah dulu, seluruhnya telah termakan habis oleh perang saat itu. Tak ada yang tersisa lagi untuk membawa kertas harapannya pada mimpinya itu. Tak ada lagi semangat untuk bisa mengunjungi Kota Paris itu, tidak ada lagi...
"Kak Thersa? Kok ngelamun?" Thersa sedikit terkejut dengan Sherrie yang menggoyang-goyangkan tubuhnya langsung saja Ia tersentak sadar dari lamunannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/253013136-288-k647707.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Vannesrain シート : Rain Of Black Clouds
Teen Fiction[ACCEPT PAIN to KNOW PAIN] "Segera gelarkan kapet merah! Sweet Lion kita datang!" Gadis itu dengan senyum dan tatapan tajamnya akan mengitimidasi siapa saja yang tak menundukkan kepalanya. Primadona sekolah gelarnya. Tapi, naas. Semuanya telah bera...