“Maafkan aku bu, maafkan kesalahanku..aku menyesal..” Ibunya mengangguk-angguk. Hingga tak lama salah satu tentara tiba-tiba telah berasa di samping kiri dengan jarak yang cukup jauh. Mereka menyudahi pelukan dan terkejut dengan tentara yang telah siap tembakannya.
“Thersa! Pergi sekarang! Cepat!” Ujar Ibunya dengan sangat cepat. Thersa tak kuat menarik kakinya, tangisnya menjadi-jadi matanya memerah.
“Jangan tembak ibuku kumohon...” Ujar Thersa pada tentara itu , namun tentara itu diam.
“Thersa, pergi!!”
DDorr! Sratt!!
“Tidaaaaaaak!!!!”
***
Mata Thersa berhenti berkedip ketika peluru itu menembus bagian tengah dada ibunya. Tentara itu pergi begitu saja meninggalkan kedua ibu dan anak itu. Tenggorokan Thersa tercekat dan dan tak sanggup bernafas lagi.
“Ibuuu! Tidak! Tidak! Tidaaak! Jangan tinggalkan aku! Ibu kumohon.” Thersa mendekat pada ibunya yang telah tak bergerak lagi, namun bibirnya tertarik tersenyum pada Thersa, Thersa menangis dihadapan ibunya yang telah tak berdaya lagi.
“P-pergi-lah T-Thersa...ja-jangan lu-pa pesan i-ibu..” Thersa berteriak setelah ibunya menutup matanya.
Ia terus menggoyang-goyangkan tubuh ibunya berharap namun ibunya tak lagi membuka matanya, Ia memeluk erat tubuh ibunya yang telah tergeletak tak bernyawa dan darah yang mengalir dari bagian dadanya.
Ia menangis sejadi-jadinya. Ia tak sanggup ditinggalkan, apaalagi ibunya. Rasa sakit yang teramat akan perpisahan. Ia begitu sangat menyesal dengan semua yang telah Ia perbuat semasa hidup. Ia selalu membuat ayah dan ibunya marah, hingga kini..nasi telah menjadi bubur..
Thersa berdiri dari sana dan menatap ibunya yang terbaring. Langkahnya mundur perlahan dan memberat, air matanya tak ingin berhenti. Namun Ia harus pergi darisini dan mengikuti pesan ibunya.
Dengan sekuat tenagaa berlari membelah ledakan-ledakan keras, dan mayat-mayat orang yang tergeletak bersimbah darah, titik-titik darah yang mewarnai jalanan juga tentara yang saling membalas serangan. Thersa berlari meninggalkan jejak air matanya yang berjatuhan menuju keluar kota. Dengan Tujuan menuju ke Kota Hujan
***
Thersa menitikkan tetes demi tetes air matanya setelah ceritanya berakhir. Ray yang mednengarnya pun tak menyangka.
“Aku juga yakin kamu adalah orang yang kuat, aku juga akan berusaha selalu untuk disampingmu.” Ray tersenyum lembut pada Thersa yang mengusap air matanya.
Ia tertunduk dan mengangguk, “Terima kasih banyak.” Ray pun mengangguk.
“Oh ya dimana Sherrie?” Tanya Thersa sambil menoleh kesana kemari.
“Mungkin dia sedang tidur, karna kulihat tadi dia sangat lelah sekali.” Jawab Ray dan Thersa hanya mengangguk.
“Sepertinya aku telah pulih, dan aku ingin pulang, tapi bagaimana?” Ujar Thersa dengan pelan.
“Aku akan mengantarkanmu.” Ternyata Ray mendengar suara kecil Thersa itu.
“Benarkah?” Tanya Thersa.
“Ya, mau pulang sekarang?” Tanya Ray.
Ia berpikir sangatlah tidak ingin untuk kembali ke rumah penuh penderitaannya, Ia merasa lebih baik disini. Rumah Ray, cukup bisa terbilang besar dan rapi, disini pun sangat hangat karna lilin yang menyala tidak seperti rumahnya yang kosong dan membosankan. Yang setiap harinya hanya bisa memandang hujan dari jendela. Lantai rumah Ray pun tidaklah buruk seperti lantai rumahnya. Ah, kenapa Ia jadi membanding-bandingkan rumahnya dengan rumah Ray ya? Seharusnya Ia sadar, rumah itu pantas baginya yang terlalu nyaman dengan rumah mewah dulu. Tak mungkin juga Ia harus disini terus-terusan. Thersa pun mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vannesrain シート : Rain Of Black Clouds
Roman pour Adolescents[ACCEPT PAIN to KNOW PAIN] "Segera gelarkan kapet merah! Sweet Lion kita datang!" Gadis itu dengan senyum dan tatapan tajamnya akan mengitimidasi siapa saja yang tak menundukkan kepalanya. Primadona sekolah gelarnya. Tapi, naas. Semuanya telah bera...