Entah berapa lama Ilsa meringkuk di dalam penjara bawah tanah kerajaan. Ruangan lembab yang gelap itu kosong. Tidak ada satupun orang di dalam sel-sel yang biasanya pasti selalu penuh oleh tahanan ayahnya. Nampaknya Samael melepaskan mereka semua, dan menyisakan satu ruangan besar itu hanya untuk dirinya.
Dua orang prajurit berjaga di depan selnya 24 jam dan hanya mengijinkan pelayan yang membawakan makanan untuk masuk. Itu juga hanya untuk meletakkan dan mengambil baki yang berisi makanan seadaanya. Bubur, roti, nasi. Tidak ada satupun dari makanan yang dihidangkan padanya, biasa di makan oleh Ilsa.
Tapi gadis itu menelan semuanya. Walaupun kedinginan dan ketakutan, ia tidak akan menyerah dan yang pasti ia tidak ingin mati di tempat itu.
Dadanya yang di cap oleh Samael meradang pada hari ke tiga. Mungkin karena kotor atau tidak segera diobati, bekas lukanya mulai bernanah dan berbau busuk. Bukan hanya itu, infeksi yang ditimbulkan oleh boroknya, membuat Ilsa mengigil kedinginan walaupun tubuhnya terasa panas.
Prajurit yang berjaga di depan penjara sepertinya melaporkan hal itu kepada Samael karena tidak lama datang seorang tabib ke dalam selnya.
Seorang wanita dengan rambut memutih yang disanggul rapi kebelakang.
Wanita itu menghampiri Ilsa yang meringkuk di lantai tanpa alas. Masih mengenakan kain tipisnya yang compang-camping dan kini basah oleh peluh, keadaan Ilsa tampak mengenaskan.
Magda menjulurkan tangannya meraih lengan Ilsa yang memeluk dirinya sendiri. Gadis itu tersentak bangun begitu merasakan sentuhan dari Magda.
Matanya yang tadinya menutup langsung terbuka lebar, menatap kearah wanita yang berlutut di depannya. Dengan nafas terengah, Ilsa bangkit dari tidurnya dan merayap mundur.
"Aku bukan hendak menyakitimu. Aku kemari hendak mengobati lukamu. Lihat!" Magda mengangkat wadah porselein di tangannya dan melambaikannya di depan wajah Ilsa. "Aku membawa obat."
Ilsa melirik wadah itu dan kembali melayangkan pandangannya yang terasa panas ke Magda. Tidak yakin apa kah ia bisa mempercayai wanita itu atau tidak.
Tapi bekas lukanya yang terus berdenyut membuatnya tidak punya pilihan. Ia pun akhirnya merangkak kembali mendekat.
Magda meraih ujung gaun bagian depan Ilsa yang sobek dan melekat di boroknya. Dengan hati-hati ia menariknya agar terlepas dari luka yang bernanah itu.
Bisa dirasakannya tubuh Ilsa yang menegang, berusaha menahan rasa sakit setiap ia menarik kain dari boroknya yang basah.
Wajar saja, pikir Magda. Luka Ilsa sudah seharus nya mengering saat ini.
Samael pasti menekan sekuat tenaga. Menyebabkan dalamnya luka yang diderita Ilsa, yang mungkin menjadi salah satu sebab mengapa luka Ilsa bukannya mengering tapi bertambah parah.
Magda mengoleskan ramuannya ke dada Ilsa dan bangkit berdiri.
"Aku akan kembali lagi besok mengecek luka mu dan membawakan beberapa obat lain. Istirahatlah," pamit Magda.
Ilsa tidak menjawab. Lidahnya terlalu kelu setelah berusaha menahan rasa sakit sekian lama. Tidak ada yang ingin dilakukannya sekarang selain kembali membaringkan tubuhnya ke lantai dingin dan kembali tertidur.
Keesokan harinya sesuai dengan janji, Magda kembali datang. Membawa obat-obatan dan baju ganti untuk Ilsa.
"Buka kain kumalmu dan ganti dengan baju ini!" perintah Magda selesai mengobati luka Ilsa.
Wanita itu melemparkan sebuah gaun lusuh di hadapan Ilsa. Bukan pakaian indah seperti yang biasa dipakai Ilsa, tapi hanya baju sederhana dengan bahan mirip karung kentang yang sering di lihatnya di pakai oleh bu-dak- bu-dak ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King's Slave
Historical FictionWARNING! 21+ BUKAN BACAAN BOCAH! "Lucuti pakaiannya!" Suara Samael menggeram pelan. Memberikan perintah kepada kedua prajuritnya untuk menanggalkan gaun yang di pakai Ilsa. "Mulai hari ini kau bukan lagi seorang Tuan Putri, melainkan tahanan ku. Ka...