Magda memberi waktu dua hari supaya luka di da-da Ilsa mengering sebelum akhirnya mengirimkan dua pelayan untuk membersihkan gadis itu agar layak bagi Samael.
Ia menatap tubuh kurus Ilsa yang sedang berendam di dalam bak mandi di kamarnya dengan bibir mengerut. Seorang pelayan sedang berupaya menggosok noda lumpur yang sudah lama mengering dari punggung gadis itu.
"Satu hal yang perlu kuberitahukan padamu, Ilsa."
Suara Magda memecah kesunyian di dalam kamarnya. Wanita itu berjalan hingga matanya bisa menatap ke wajah Ilsa.
"Hidup mu yang lama sudah berakhir," lanjutnya. "Dirimu sekarang bukan lah lagi seorang putri raja. Melainkan hanya seorang bu-dak. Berstatus lebih rendah dari pelayan, dan tidak ada bedanya dengan ternak yang dimiliki oleh kerajaan.
Hanya ada satu hal yang menyebabkan tidak ada satupun dari orang di istana ini yang berani menyentuh dan merobekmu menjadi puluhan bagian, dan itu adalah karena dirimu adalah bu-dak dari Raja Samael. Jangan sampai perlu aku mengingatkanmu apa yang akan terjadi bila Raja Samael membuangmu. Turuti semua perintah yang diberikan oleh Mastermu. Apapun itu. Paham?"
Ilsa menunduk menatap air tempatnya berendam yang kini sudah terlihat kecoklatan dari kotan di tubuhnya. Ia mengangguk pelan. Obat yang diberikan Magda sudah menyembuhkan luka di da-danya. Sekarang hanya tersisa bekas kecoklatan yang mengelupas sebagian dan ia yakin tidak akan pernah hilang dari tubuhnya. Sebuah simbol dengan huruf SM. Inisial dari Samael Malloy. Masternya.
Ada perasaan pedih di da-da Ilsa setiap ia melihat inisial pria itu di tubuhnya. Mengingatkannya kembali akan posisinya saat ini yang tidak lebih dari sebuah barang. Yang bisa di gunakan oleh pemiliknya dengan sesuka hati.
"Bagus," jawab Magda puas.
Wanita itu sudah menyiapkan sebuah pakaian untuk Ilsa pakai. Pelayan yang tadinya memandikan gadis itu, kini membantunya mengenakan gaun barunya yang, sekali lagi, jauh dari gaun-gaun indah yang dulu di kenakan Ilsa ketika ia masih menjadi seorang putri.
Berwarna coklat muda, sedikit lebih bagus daripada gaun karung kentang yang dipakai sebelumnya, gaun barunya pendek dan tipis. Bertali di pundak dengan bagian belakang yang terbuka. Tanpa memberikan pakaian dalam, lekuk tubuh Ilsa terpampang dengan jelas tanpa halangan.
Gadis itu mencengkeram ujung gaunnya yang berhenti tepat di bawah pinggulnya dan mencoba menariknya turun. Tentu saja kain itu kembali terangkat begitu ia melepaskannya, membuat sebagian kulit mulus bagian belakangnya kembali menyembul.
Tanpa mengindahkan ketidak nyamanan Ilsa, Magda membalik badan dan berjalan keluar.
"Ikuti aku," perintahnya pada Ilsa yang langsung mengekor di belakang wanita itu dengan wajah tertunduk.
Keduanya berjalan melewati lorong istana yang dikenal dengan baik oleh Ilsa namun sekarang tampak asing dimatanya.
Karpet tempatnya berlarian kini terasa kasar melawan kakinya yang tidak bersepatu. Angin yang biasanya terasa sejuk, kini berhembus dingin, menabrak kulitnya yang hanya tertutup sehelai kain yang tipis. Ia bahkan bisa merasakan pandangan tajam penuh kebencian dari prajurit Samael setiap mereka berpapasan. Tatapan mata mereka terasa bagaikan tusukan seribu jarum ke arah tubuhnya. Seolah tanpa gelar bu-dak rajanya, mereka tidak akan ragu-ragu untuk merobek Ilsa di situ juga.
Sebenci itukah semua orang padanya selama ini? Ilsa tidak bisa berhenti berpikir.
Keduanya akhirnya berhenti di depan kamar terbesar di dalam istana. Kamar yang dulunya menjadi kamar ayahnya, dan kini dipakai oleh pria yang membunuh keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King's Slave
Historical FictionWARNING! 21+ BUKAN BACAAN BOCAH! "Lucuti pakaiannya!" Suara Samael menggeram pelan. Memberikan perintah kepada kedua prajuritnya untuk menanggalkan gaun yang di pakai Ilsa. "Mulai hari ini kau bukan lagi seorang Tuan Putri, melainkan tahanan ku. Ka...