Ilsa terbaring miring di selnya sambil terisak pelan. Gadis itu bahkan tidak bisa mendudukan tubuhnya tanpa rasa nyeri di tempat dimana Samael baru saja memasukinya. Lengan kurusnya melingkar, mendekap erat tubuhnya sendiri, sementara lututnya terangkat hingga ke bahu, membentuk bola.
Tidak ada yang ingin dilakukannya sekarang kecuali berdoa agar tanah tempatnya berbaring terbuka lebar dan menelannya bulat-bulat.
Entah berapa lama Ilsa terbaring tidak bergerak, tanpa mampu memejamkan matanya. Menunggu agar rasa sakit di celah tubuhnya berkurang, hingga suara langkah kaki seseorang yang mendekat, membuat Ilsa mengangkat kepalanya.
Dari tempat ia berbaring tampak kaki bersepatu seorang wanita mendekat.
"Bangun!" perintah Magda.
Ilsa tidak bergeming. Ia membaringkan kembali kepalanya ke atas lantai dan membungkam.
Wanita itu meraih lengan Ilsa dan menyentaknya.
"Bangun kubilang!"
Ilsa menjerit kecil. Tarikan tangan Magda menggoncang tubuhnya yang terasa remuk dan menambah rasa sakit yang tidak juga berhenti berdenyut terlebih ketika ia bergerak.
"Biarkan aku sendiri." Ilsa menarik lengannya balik dan membantah. Wajahnya yang masih basah oleh airmata terasa lengket bercampur dengan pasir dari tanah yang menjadi alas tidurnya.
Magda menarik nafas dan berlutut disebelah gadis itu.
"Aku membawakan ramuan untuk kau minum. Ini akan membantu rasa sakitmu."
Ilsa melirik ke arah Magda. Wanita itu menyodorkan sebuah cawan dengan ramuan berwarna hitam di dalamnya.
Walau masih ragu, tapi perlahan Ilsa bangkit. Menggunakan satu tangan menopang tubuhnya agar tidak sepenuhnya duduk, Ilsa meraih cawan dengan tangan yang lain dan menenggak ramuan itu hingga habis.
Rasanya yang sedikit manis dan hangat memenuhi rongga tenggorokan Ilsa, sebelum meluncur turun ke dalam perutnya. Panasnya langsung menyebar ke seluruh tubuh Ilsa. Dari ujung tangan hingga jemari kakinya yang membeku, menjadikan perasaannya sedikit membaik walau rasa pedih di celah pa-hanya tidak juga berkurang.
"Apakah ini yang dirasakan oleh mereka?" tanya Ilsa perlahan ketika ia akhirnya memiliki tenaga untuk bersuara.
"Mereka siapa?"
"Bu-dak bu-dak ayah."
Magda tertawa lepas mendengar pertanyaan Ilsa. Tidak menyangka senaif itu putri Raja Terrance akan kehidupan yang dialami para bu-dak.
"Jika Yang Mulia berniat membuatmu merasakan bagaimana rasanya menjadi bu-dak Raja yang sesungguhnya, ia akan memulai dengan membakar ke-maluanmu, atau mengedarkanmu pada panglima-panglima setianya setelah selesai menggaulimu. Putri," jawab Magda dingin. "Percayalah. Yang sedang kau rasakan saat ini, tidak ada bandingannya dengan apa yang sudah di rasakan oleh bu-dak yang lain."
Wanita itu berdiri dan melemparkan sebuah selimut dan gaun polos dari kain berwarna coklat ke arah Ilsa.
"Setidaknya ketika aku menjadi bu-dak ayahmu, ia tidak akan mengirimkan obat atau selimut untukku," geramnya tertahan kemudian berlalu pergi.
Ilsa terdiam menatap kepergian Magda. Begitu kembali berada di dalam kegelapan, Ilsa meraih gaun polos tanpa lengan yang dilemparkan oleh Magda dan memakainya, bertumpuk dengan gaun tipis yang dikenakannya.
Tangannya menarik selimut yang ada didepannya dan menutupkannya ke atas tubuhnya sebelum kembali membaringkan kepalanya ke lantai yang keras. Ilsa kembali memeluk tubuhnya sendiri dan membiarkan efek obat yang membuatnya mengantuk membawa Ilsa ke alam mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King's Slave
Historical FictionWARNING! 21+ BUKAN BACAAN BOCAH! "Lucuti pakaiannya!" Suara Samael menggeram pelan. Memberikan perintah kepada kedua prajuritnya untuk menanggalkan gaun yang di pakai Ilsa. "Mulai hari ini kau bukan lagi seorang Tuan Putri, melainkan tahanan ku. Ka...