Bungkusan Lara

6 0 0
                                    

<CERPEN>


"Oh ya Rick hari ini cuaca sedang bagus ya? Kamu juga merasakan?" kataku sembari memainkan pena pada kertas kosong. Kau hanya mengernyitkan dahi. Aku berharap bahwa akan ada celoteh panjang darimu tapi setelah beberapa menit tak kudengar sedikitpun.

"Kamu sakit, Rick?" tanyaku lagi sembari sedikit gegabah.

"Nggak kok.." sedikit jawaban tapi membuat jutaan pertanyaan makin bergumul di ruang pikir. Semenjak pertalian kami sebagai sepasang kekasih aku mulai benar-benar paham sikap dan sifat Rick.

Rick, seorang anak lelaki bermata cokelat muda, dengan wajah yang dingin, dan cuek. Harus dicecar pertanyaan dulu supaya membuka katup suaranya. Rick misterius dan aku aneh. Tepat sudah pertalian jiwa kami, tak ada yang menyamai.

"Masih bergumul dengan kemisteriusan Rick?" tukas Anne terceletuk.

"Ya begitulah... "sembari ku membereskan buku dan bergegas pulang.

"Sudahlah tak apa. Tapi kau kan sudah mendapatkannya kan?" aku hanya melirik Anne.

"Mau ikut aku pulang atau tidak?"

Ia bangkit dari lorong-lorong bangku. Sesegera mungkin ia mengambil bola matanya yang terlepas dan rambutnya yang rontok disertai ceceran darah tak ada habisnya. Ah, Anne. Ku lelah melihatmu begitu. Biasa saja kenapa. Sedikit ku kesal beberapa hari ini dibuat Anne jengkel. Sampai di rumah aku meletakkan kepala pada bantal. Beberapa menit aku tenggelam di pelukan kasur.

"Zink! Sudah sore. Kamu jangan tidur seperti kemarin lho ya. Belum juga ganti baju. Belum makan. Belum mandi. Ayo segera dilaksanakan!" sejenak mataku terpejam akhirnya 'gelagapan' seketika karena omelan Mama. Mau tidak mau aku bergegas melaksanakan sebelum Mama datang lagi. Anne hanya tertawa kecil yang membuatku makin sesak.

Hari ini di mana beberapa kesialan terjadi. Makanya membuatku agak sedikit kesal. Dari awal masuk sekolah aku terpeleset di koridor ruang guru. Ketika istirahat secangkir kopiku tumpah membasahi sepatu. Saat pertemuan dengan Rick, ia hanya terdiam mengungkap bahasa menggunakan gestur. Kalau hari biasa ku bisa memahami sedangkan saat itu kalang kabut pikiran yang berkecamuk. Ditambah Anne yang bermain-main dan menjahiliku di kelas saat pelajaran. Membuatku risih dan memarahinya, bukan itu yang paling menjengkelkan. Tapi teman-teman seketikan membully dan memanggilku dengan sebutan "gadis aneh/freak girl". Oke hari ini aku cukup berkorban mengarungi perasaan dan beberapa adegan kehidupan.

"Oya Rick tidak mengajakmu membahas tentang film kesukaanmu?" tanya Anne tiba-tiba.

"Tidak untuk hari ini!"

Setelah ku melaksanakan semua intruksi Mama ku tenggelamkan wajahku pada bantal. Barangkali aku dapat menggapai apa yang ku ekspetasikan hari ini. Bukan bungkusan lara dan letih yang berkecamuk.

"Aku mau tidur! Kamu jangan jahil ke siapapun atau tak kuajak pulang dan menguntit senja lagi!" ancamku pada Anne.

"Iya,Tuan Puteri..."

Di alam mimpi...

Seketika aku berada di tempat asing yang tak kukenali. Seperti di jembatan menuju Hogwart pada film Harry Potter. Aku termangu sendirian. Tak ada siapapun, Rick pun tak ada apalagi Anne—si pengganggu. Tiba-tiba ada dentuman keras dan melengking, lalu sesegera mungkin ku tutup kedua daun dengarku.

"Apa itu? Apa yang terjadi?" aku berlari. Berlari. Mencari sumber suara itu. Dalam aku berlari tak ada lelah sedikit pun. Sampai di ujung jembatan. Ku tercengang. Dentuman itu menghancurkan separuh jembatan. Lalu aku bergidik takut sebab reruntuhan akan sampai pada tiang yang lain. Rupanya sudah beratus tahun mungkin umur jembatan itu. Teriakan minta tolongku tak ada yang mendengar. Terdiam sejenak aku mematung. Sambil kuusap kedua mataku dan sedikit memperjelas penglihatan. Jembatan itu terpisah dan dari sudut jauh aku melihat sesosok lelaki dan wanita berpadu kasih. Sebentar aku memutar otak.

"Apa itu, Rick? Lalu siapa wanita itu, sungguh dia bukan aku!" Di alam bawah sadar pun pikiranku dibuat bergelut. Dengan mata terpejam—di sana, ku telusuri sosok wanita itu.

"Ohya apa itu masa lalunya, Rick?"

Dengan gemuruh pertanyaan yang makin menghujam sosok itu makin mendekat pekat. Ia melempar sepotong surat berisi separuh hati yang menghitam dan nyaris ranum. Tertera pada surat itu,

"Maaf dan terima kasih. Sebab luka lamaku belum sembuh. Kau membuka lagi lukaluka yang lain"

Ada bungkusan juga selain surat itu. Ternyata berisi namaku dan namanya yang bersimpang jauh. Namanya tertulis di pojok kiri atas dan namaku di pojok kanan bawah. Nama itu ditulis dengan tinta yang nyaris habis. Hampir tak jelas. Aku gelagapan terbangun. Ku tengok jam di dinding menunjuk pukul 24.00. Ku lirik di kanan guling ada Anne di sana yang bermain-main dengan rambut ikal lusuhnya. Hmm.

"Kenapa kamu, Zink?"

"Aku bermimpi aneh, Anne. Aku menerima bungkusan lara dari Rick." segera ku celotehkan alur mimpi yang ku alami baru saja. Dengan sigap Anne menjadi pendegnar setia.

"Kamu belum berdoa mungkin ketika tidur."

Bisa jadi memang benar tapi bisa jadi itu sebuah puzzle teka-teki yang harus dipecahkan. Tapi, mengapa begitu ya alur dan adegannya? Sangat meremas hati dan merampas bahagia sanubari.

"Sudahlah. Tidur lagi sana. Aku mau bermain dengan sosok di bawah sana. Itu temanmu juga, Zink?" ia membuka mengintip jendela sambil menembuskan kepalanya. Hmm, Anne..

"Iya. Itu teman masa kecilku dulu. Elden namanya, ia anak yang baik. Tidak cengeng dan sensitif sepertimu. Ia lelaki kuat tapi malangnya ketika mengejar balon sehabis dibelikan Papanya di hari ulang tahun. Ia tertabrak sebuah mobil yang melaju kencang. Kepalanya bersimbah darah. Jari-jarinya sudah tak berbentuk dan tangannya nyaris patah semua. Ia pendengar setiaku juga kala kecil. Kami bermain apapun permainan. Sesekali aku membelikan balon warna biru kesukaannya."

"Hmm,begitu ya. Anak kecil yang mempesona." Anne makin terkagum.

"Eh, sadar kamu udah tua. Dia masih anak-anak. Tapi Elden tak pernah jahil padaku dengan menampakkan tubuh yang berantakan sepertimu. Ia menutupi semua, jadi sosoknya bak anak kecil pada umumnya kan? Serasa baik-baik saja." ku panjang lebarkan ceritaku.

"Setiap hari dia juga ke rumahmu, Zink? Kenapa dia di sana sendirian di saat seperti ini?" tanya Anne penasaran.

"Biasanya ia mencari kunang-kunang dan masih mencari balonnya yang hilang. Entahlah mengapa balon itu sangat berarti bagi dia. Sampai detik ini belum ia kisahkan padaku."

"Aku akan menemaninya dan berkenalan ah.." seketika jendela dan kordenku berantakan tak karuan.

Akhirnya aku rebahan lagi mengutuki sunyi di dini hari. Aku masih berpikir tentang bungkusan lara yang diberikan Rick padaku. Apakah aku harus berkorban lagi menunggunya pada ruang tunggu (lagi)? Merelakan ia bergelut dengan masa lalu yang ia impikan. Jadi aku ini dianggap sebatas apa, apakah teman kesunyian atau teman kebahagiaan?

Tak sampai hati jika ia mengirimiku bungkusan lara di dunia nyata. Sebab kepatahan yang tak bisa kucegah akan datang kembali dan menyelimuti hari serta ruang tungguku. Baiklah, apapun yang terjadi aku siap menerima. Sebab hidup bukan tawar menawar takdir tapi memperjualbelikan dan mengorbankan apa yang seharusnya dikorbankan.

Rick dan Buku Harian ZinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang