Rangkaian Lara

3 1 0
                                    



Dua elemen yang berpaut kala itu. Dua elemen yang menjadi saksi bisu. Dua elemen yang mematahkan janji yang sudah terakit. Kopi, menyimpan beribu perih yang kami tuang di dalamnya. Begitu pun senja yang nyaris ku benci karena ia mengulur kesedihan akan perpisahan terjadi. Baik kau kini telah pergi.

***

"

Kala bagaskara sedang asyik di singgasananya, saat itu aku memandang ke luar jendela kelas. Ku temui sosok yang belum ku kenal. Biasa saja awalnya karena sikapku tak acuh kepada siapapun. Rasanya aku punya dunia sendiri dalam kotak imajinasi. Setelah kurekam sosokmu kemudian aku berjalan menuju bangku-bangku kosong dan tua. Sebenarnya saat itu kelas sudah sepi. Tapi aku memutuskan masih berdiam di sana. Mengutuki sepi sendiri. Beberapa saat penaku asyik melaju dan menulis kisah kopi.

Aku menyukai kopi sedikit ditambah susu kental manis dan es kotak-kotak kecil makin syahdu dan manis untuk diteguk. Kopi menyimpan kisah sendiri. Setiap orang pasti mempunyai inspirasi bukan dari secangkir seduhan itu? Tak lain sama denganku.

Di dalam kelas aku sendirian. Tiba-tiba suara bangku bersahutan. Angin yang sedari tadi menyejukkan kini semakin garang. Lalu seret langkah terdengar. Hmm, aku sudah menduga bahwa itu Anne.

"Kau menunggunya sampai senja lagi, Zink? " ia berbisik sedikit pelan.

" Mungkin. "

Anne, salah satu temanku dari dunia lain. Ia di sana sebagai penunggu sekolah-katanya. Tapi ia cengeng dan agak sensitif dengan orang. Makanya tak mau menampakan diri kepada siapapun. Pertemuan awal aku dengannya ketika suatu malam waktu perkemahan Sabtu-Minggu di sekolah. Kebiasaanku sebelum tidur untuk sedikit merenung dan merasakan angin malam. Mungkin dini hari saat itu, dengan pena dan sebuah buku selalu kugenggam. Entah pikiranku agak kacau balau tiba-tiba aku sedikit tercengang. Ada langkah-langkah kecil yang mengganggu penglihatanku. Apalagi terdengar tangisnya begitu memekakan telinga. Ku telusuri di sebuah bangku tua di dekat kamar mandi. Ternyata aku menemukan Anne.

"Siapa kau?" ia sedikit membentak dalam tangis.

Lalu aku berusaha menenangkan dan berbicara baik-baik. Ya, namanya sensitif pasti agak sedikit ganas kan. Hmm.

"Oke. Aku Zink. Kau siapa dan mengapa kau menangis? " tukasku pelan supaya tak menyinggungnya.

Dengan tiba-tiba dia langsung enyah dari tempatnya dan menatap mataku. Pas di depanku. Setengah kaget.

Dia menghentikan tangisnya dan berujar,

"Kau bisa melihatku?"

"Ya. Entah ini sebuah keberuntungan atau kesengsaraan."

Kami berkenalan dan Anne mengisahkan masa lalunya. Dulu ia juga bersekolah di sini, saking ia patuh dengan orang tuanya janji pun tak ingin ia langgar. Suatu saat dia duduk di depan pagar depan sekolah menunggu jemputan. Beberapa tawaran tebengan dari teman tak diterima, ia bersikukuh menunggu orang tuanya datang menjemput. Dari siang ia mengutuki sepi sendirian. Nyaris tak ada lalu lalang seseorang. Sesekali ia tengok arloji dan berharap segera datang jemputan. Tiba-tiba hujan deras datang mengguyur mau tidak mau Anne berlari ke kelas. Hari sudah semakin senja. Ketika mau berlari menuju kelas pohon yang tinggal di sekolah bertahun-tahun tumbang tak terduga. Hujan saat itu begitu deras dan disertai angin. Anne ambruk dan kepalanya terbentur batu dan tertimpuk pohon. Rohnya sudah tak bisa kembali pada raganya. Ia pergi di saat senja. Setelah kejadian itu ia mengutuki sunyinya di dekat kamar mandi, berharap seseorang bisa mengajaknya bicara.

Begitulah perjalanan Anne. Mungkin jika dihitung penanggalan Masehi sudah sekitar 10 tahun ia di sini. Sekolah tempatnya menghabiskan senjanya. Senja yang pedih. Semenjak saat itu aku selalu menikmati senja dengan Anne. Usai kelas selesai aku selalu menghampiri Anne yang tengah duduk di depan kamar mandi. Dalam dunia nyata aku tak punya teman dekat yang asyik diajak berbincang sebab bagiku mereka hanya menyuguhkan drama abal-abal. Entah dari mana sudut pandangku terpengaruhi jadi seperti ini.

"Aku sedang menyukai seseorang." aku keceplosan berujar.

Anne menatapku dalam-dalam.

"Ah sudah jangan menatapku begitu. Lihat mata kamu melotot memerah nanti terlepas lagi lho!"

Sedikit ia tak percaya mungkin bahwa aku merasakan jatuh cinta seperti orang normal lainnya.

"Siapa dia?"

Kutunjukan foto Rick pada Anne. Ia mengamati dalam-dalam bak paranormal.

"Apa yang berkesan dari dia sehingga kau menaruh hati padanya?" Anne mengintrogasi.

"Entahlah.. "

Suatu waktu aku pergi ke kantin menikmati seduhan kopi racikan Bu Helga. Rasa yang ia seduh melekat di lidah sehingga membuatku membuka berbagai inspirasi. Di lain kejadian ada seorang anak dengan tergesa-gesa dan rupanya membawa secangkir kopi juga. Tak disengaja kakinya tersandung kaki meja, ia menumpahkan kopi panasnya di rokku. Seketika aku kaget dari lamunan. Dengan terbata-bata ia minta maaf. Aku merekam sosoknya. Percikan api asmara menyemburku saat itu, tetapi tidak sampai di situ ternyata patah hati juga berjalan beriringan. Ternyata dia- Rick namanya sudah mempunyai kekasih.

Entah mengapa saat itu aku menangis dan bergegas di kamar mandi ujung sekolah. Aku berharap Anne tak melihatku patah hati. Tapi malangnya, Anne mencari-cariku dan menemukanku. Raut wajahnya sedikit trenyuh dan haru melihatku. Jika Anne bisa hidup kembali aku akan memeluknya erat menumpah ruahkan segala lara. Sayangnya, kami berbeda. Seperti perbedaanku dan Rick saat ini.

"Kamu selalu marah padaku ketika aku menangis. Oke aku tidak akan ikit dalam tangismu kali ini. Tapi aku ikut bersedih, Zink."

Mataku memerah dan kucuran airmata masih menyisa di bola retina.

"Tak apa, Anne!"

"Kamu hanya perlu waktu untuk menerima semua ini, Zink. Sebab kamu masih bisa memandangnya dan menikmatinya. Potret dan namanya masih bisa kau buat tulisan. Kalian tidak berada di tempat yang berbeda. Berbahagialah!" tiba-tiba Anne bersikap bijak saat itu.

"Maksud kamu apa, Anne?" sembari ku mengusap airmata yang meluruh.

"Dulu aku juga sepertimu pernah merasakan jatuh cinta pada seseorang. Sebelum aku benar-benar pergi dari dunia ini ku tekadkan untuk menyatakan rasaku padanya. Entah ia menolak atau menerima aku tak memikirkan sejauh itu. Terpenting aku mengungkapkan kepadanya. Tapi takdir berkata lain kan?"

Andai Anne bisa menangis secara nyata mungkin banjir lorong kamar mandi ini. Aku sangat tercengang dengan kisah Anne kali ini.

"Hmm. Lalu kamu masih ada rasa sampai saat ini?" tanyaku sedikit penasaran.

Ia mengangguk perlahan.

"Barangkali ia sudah meniti kehidupannya, Zink. Sudah sepanjang dekade ini aku tak pernah melihatnya. Sama sekali. Jadi kamu berbahagialah masih bisa menikmati sosoknya meski jatuh dan patah berjalan beriringan."

Sungguh kali ini Anne menenangkanku, tidak seperti biasa ia jahil mencecerkan darah di lorong-lorong, bahkan menumpahkan air di lantai dekat kantin, atau memainkan bangku dengan berisik yang katanya musik baginya.

"Anne... " ujarku trenyuh dan mengakhiri gugusan airmataku.

Saat itu aku dan Anne semakin akrab. Mengintip senja setiap saat. Menikmati seduhan kopi yang menjadi saksi bisu. Setiap orang memiliki rangkaian lara sendiri. Entah ia kuat atau tidak menanggung mereka tak bisa mencegahnya.

Rick dan Buku Harian ZinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang