Gartaagza (Bagian Tujuh Belas)

0 0 0
                                    

The Coven

Gartaagza (Bagian Tujuh Belas)

“Tujuanku memang menghancurkan coven kecil ini, Nona Madicum.” Theo bersiap dengan cambuk listrik di tangannya.

Baku hantam pun tak bisa dihindari. Cambuk listrik milik Theo berhasil dihindari dengan Delnessie dengan mulus. Di mata Delnessie, pergerakan cambuk itu lambat, dengan mudah dia menghindarinya.

Delnessie melompat mundur. “Kau berurusan dengan penyihir yang salah, Theo.” Delnessie menggerakkan telunjuknya, membentuk sebuah rune.

Detik berikutnya, sosok Delnessie lenyap dari pandangan. Theo sudah memahami trik murahan ini. Dia tidak panik, matanya mengamati tiap detail keadaan di sekitarnya. Theo mengeluarkan sesuatu dibalik jubahnya, sebuah botol kecil berisi cairan perak.

Botol kecil itu dia pecahkan dengan melemparnya ke tanah. Seketika cairan silver itu mengeluarkan asap yang tak tampak oleh mata. Sosok Delnessie terlihat lagi, jaraknya satu meter di samping Theo.

Theo dengan sigap menghindari spell yang dilemparkan Delnessie padanya. Theo tersenyum dingin. “Trik murahan itu tdak akan bisa membunuhku.”

Delnessie tak kehabisan akal. Kali ini dia menggunakan bayangan hitamnya untuk menyerang lawannya. Bayangan itu efektif karena di malam hari yang gelap membuat serangan tak bisa diprediksi.

Delnessie berhasil mendaratkan beberapa luka di tubuh Theo. Paladin itu menatap Delnessie dengan tatapan menyala. Nafsu membunuhnya meningkat setelah menerima beberapa luka dari bayangan hitam yang muncul dari mana saja.

Kali ini Delnessie menggunakan sihir api. Satu jari tangan kirinya bergerak membentuk sebuah sigil, sedangkan tangan kanannya membentuk sigil lain. Muncul lingkaran api yang mengelilingi Theo, api itu membatasi ruang geraknya.

“Kau pikir aku tidak bisa keluar dari lingkaran api ini?” Theo memasang ancang-ancang. Dia hendak melompati cincin api yang mengelilinginya. Keputusan gila.

Delnessie tersenyum miring.

Pada hitungan ketiga. Satu ... dua ... tiga ... Theo melompat, menembus cincin api itu. Namun tiba-tiba saja tubuhnya merasakan sengatan listrik bertegangan tinggi. Theo kehilangan keseimbangan. Tubuhnya jatuh ke dalam jilatan api, namun tidak dalam waktu yang lama. Dia berhasil melompat keluar dari sana.

Keadaan Theo tak sebaik sebelumnya. Dia mendapat luka bakar di beberapa bagian tubuhnya. Napasnya terngah, matanya nyalang menatap Delnessie di hadapannya.

Delnessie tak membuang waktu. Dia menggerakkan bayangan hitamnya lagi. Kali ini sosok bayangan itu berhasil membuat Theo tersungkur. Dia tak melepaskan Theo begitu saja. Bayangan miliknya menekan punggung Theo, sampai paladin itu kesulitan bernapas.

Delnessie berjalan santai menghampiri lawannya. “Kau paladin amatir. Kau berhasil membunuh Momo, karena keadaannya yang kehabisan chara. Sedangkan aku, aku dalam keadaan segar dan bugar.” Delnessie menatap lawannya kasihan. “Bagaimana kalau kau menjadi minionku saja?”
***

Dannies terbangun di pagi hari. Dia mengucek matanya pelan lalu menggelian di kasur. Setelah merenggangkan otot, barulah anak itu bangkit duduk. Dilihatnya Mandy yang sudah berdiri di pintu dengan senyum khasnya.

“Bangun juga, putri tidur,” ucap Mandy.

Dannies mengedipkan matanya beberapa kali, beradabtasi dengan cahaya yang masuk. Anak itu merasakan sesuatu yang aneh pergelangan tangannya. Dia mengangkat tangan kanannya. Ada sebuah gelang dengan lima hiasan bandul di sana. Bandul pertama berbentuk bulat, kedua bunga, ketiga kupu-kupu, keempat bintang, dan kelima bulat lagi.

Dannies mengerutkan kening. Seingatnya, dia tak memiliki gelang semacam ini. Milik siapa ini?

“Milikmu,” jawab Mandy yang bisa membaca ekspresi heran adiknya.

“Punyaku?” ulang Dannies.

“Iya,” sahut Mandy.

“Tapi aku tidak punya gelang seperti ini.” Dannies berusaha melepaskan gelang itu dari pergelangan tangannya, namun gagal. Dia mengerutkan kening. Bagaimana cara melepas gelang ini? Loh, kalau ini memang miliknya, kenapa dia tidak tahu cara melepaskanya?

Mandy menghampiri adiknya yang sibuk dengan gelang barunya itu. Dia meraih tangan Dannies yang mengenakan gelang itu lalu membantu melepaskannya. “Begini cara lepasnya.” Mandy mengajari Dannies cara melepaskan kunci pada gelang barunya itu.

Dannies menggeleng. “Fix bukan punyaku.”

“Gelang ini dari kami, untukmu,” jelas Mandy.

Dannies mengerutkan kening, heran. “Kami siapa?”

“Aku, Helyna, Helea.”

“Dari kalian bertiga?”

Mandy menunjuk bandul yang ada gelang itu. “Di artefak ini ada mark milikku, Helyna, dan Helea.”

“Mark?”

“Iya, sifatnya permanen. Tidak seperti sigil.”

Dannies pusing. Sepertinya dia belum mempelajari hal ini, deh. Helyna belum mengajarkan padanya konsep dari mark, sigil, sign, segel, rune, dan lainnya. Tentunya Helyna atau Mandy yang mengajarkannya segala hal tentang magic, bukan Helea.

“Mark apa? Bukan sigil?”

“Nanti kujelaskan, pelajaran tambahan, cool?” Mandy memaiakan gelang itu lagi pada adiknya.

Dannies mengangguk paham walau sebenarnya dia masih ingin bertanya. Gelang ini fungsinya apa? Kenapa marknya banyak sekali?

Dannies menyingkirkan berbagai pertanyaan itu dari kepalanya. Dia membiarkan kakaknya yang menyebalkan itu menggandengnya, membawanya ke meja makan.

Meja makan sudah ramai. Para penghuni coven sudah banyak yang bangun. Sepertinya Dannies bangun kesiangan. Dia menoleh ke sana kemari, mencari sosok yang dia kenali. Mandy membawanya menuju meja yang di sana sudah ada Helyna dan Helea.

“Baru bangun, Dann?” cetus Helyna yang berada di hadapannya.

Dannies mengangguk. “Masih ngantuk.”

“Mimpi aneh lagi?” tanya Helyna lagi.

Dannies menggeleng pelan. “Belum.”

Helea dengan baik hati mengambilkan sarapan untuk adiknya yang masih belum sepenihnya mengumpulkan nyawa. Tak lupa Helea menuangkan teh hangat untuk Dannies.

“Thanks Kak,” senyum Dannies mekar begitu mendapati sarapan sudah siap di hadapannya.

Helea membalas dengan senyum hangat.

Dannies mengamati keadaan sekitarnya. Dia melihat anak-anak lain yang wajahnya pucat. Sepertinya mereka kurang sehat. Ditambah lagi, ada yang batuk-batuk ringan. Tidak hanya satu anak, melainkan banyak. Dannies beralih menatap kakak-kakaknya. Untungnya mereka tampak baik-baik saja.

“Kenapa Dek?” Helea memeroki Dannies yang mmeperhatikan dirinya.

Dannes menggaruk kepalanya, malu karena kakaknya itu sadar dirinya diperhatikan. “Banyak yang sakit?”

“Oh iya, itu karena semalam adammpppff---“

Helea memasukkan roti ke mulut Helyna hingga ucapannya tertahan. “Iya, cuacanya kurang enak, jadi banyak yang sakit.” Helea menggantikan Helyna memberikan penjelasan.

Dannies mengerutkan kening melihat kejadian itu. Tapi dia mengangguk menerima penjelasan Helea mentah-mentah.

“Kak Momo mana?” mata Dannies mencari sosok Momo yang dari tadi tidak kelihatan batang hidungnya. Biasanya Momo ikut sarapan bersama mereka.

“Masih tidur dia,” cetus Mandy lalu melahap rotinya.

Helyna menahan tawa. Masih tidur? Bukan, tapi tidur dan tak akan pernah bangun lagi.

Sekali lagi Dannies menerima penjelasan itu mentah-mentah.
***

The CovenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang