Portaagza (Empat Belas)

9 0 0
                                    

The Coven

Portaagza (Empat Belas)

Helea mengelap keringat yang mengalir di keningnya dengan punggung tangan kanannya. Napasnya memburu, karena telah berjalan cukup lama. Akhirnya, dia berhenti di suatu titik. Helea mengatur napas, tatapannya lurus ke depan. Momo yang berdiri sejajar di samping Helea juga ikut berhenti. Mereka berdua menatap ke arah yang sama.

“Ini tempatnya?” komentar Momo kemudian.

Momo mengamati bangunan tua yang berdiri di hadapannya. Bangunan kuil tua yang dibangun dengan kayu dan bata. Kuil ini sangat tua, tapi masih terawat. Sebenarnya, tidak ada yang merawat kuil ini. Tapi kuil itu yang merawat dirinya sendiri. Momo pernah membaca arsip tentang kuil kuno yang kini ada di hadapannya. Dijelaskan di sana bahwa kuil ini sebenarnya hidup. Walaupun kuil ini dirusak oleh pihak tak bertanggung jawab, bangunan ini akan memperbaiki dirinya sendiri.

Seram? Tidak juga. Setidaknya bangunan ini bukan bangunan tua tak terawat yang angker, berhantu, dan digunakan anak-anak iseng untuk uji nyali. Salah, kalian salah. Kuil ini adalah tempat ibadah. Lihat? Bahkan tempat yang tampak menyeramkan dari luar itu justru tempat ibadah. Sudah kubilang kalian salah duga.

Helea melangkah, mempersempit jaraknya dengan pintu masuk kuil. Helea merasakan energi magis yang kental di sekitar kuil itu. Tentu saja, Helea sangat peka. Terkadang kemampuan Helea yang dapat diandalkan ini sering kali membuat dirinya dijuluki calon magistratus oleh anak coven lainnya.

“Kau yakin ini aman? Bagaimana kalau ada perangkap di dalamnya?” tanya Momo meastikan. Momo tak sehandal Helea walau dia sudah sampai pada tingkat madicum.”Kau masuk duluam, deh.”

Helea tidak protes. Insting penyihirnya mengatakan kalau tak ada bahaya di dalam. Selain karena Helea dan Momo tak memiliki niat buruk untuk masuk ke dalam kuil kuno ini, Helea  tak melihat ada aura negatif di sekitar bangunan itu.

Kreett ... pintu kayu berderit begitu Helea mendorongnya.

Begitu mereka berdua masuk, debu menyeruak ke luar. Di dalam sangat pengap, sesak, dan penuh debu. Tapi masih sangat layak untuk ibadah. Di dalam berjejer bangku-bangku seperti tempat ibadah pada umumnya. Ada juga tempat meletakkan sage. Di pusat ruangan, terdapat patung Bunda Gaia.

“Alright, di mana benda itu?” Helea berbalik menghadap ke arah Momo.

Momo membuka gulungan kertas yang dibawanya. “Ditulis di sini, ada di dalam kuil ini, kok. Mungkin di salah satu ruangan,” jawab Momo.

Helea mengisyaratkan agar mereka berpencar. Momo mengangguk setuju. Jika mereka berpencar, akan lebih cepat mereka menemukan apa yang mereka cari dan mereka bisa segera pulang. Tunggu, memangnya mereka mencari benda apa? Kenapa sampai pergi ke kuil kuno?

Well, pertanyaan bagus. Tunggu, jangan buru-buru. Mari nikmati alur ceritanya bersanaku. Narator yang suka banyak komentar ini.

Helea dan Momo menjelajahi kuil tua itu. Mereka mengamati setiap centi bangunan ini, memastikan tak ada yang terlewat dari pengelihatan mereka. Mereka menjelajah, masih. Sesekali mereka mengagumi kuil tua ini. Merasa sayang, kenapa tempat ini harus terbengkalai dan tak dipakai lagi? Padahal letaknya strategis, juga suasananya sangat pas. Helea bisa melihat dinding kuil yang berdebu, cat yang luntur tapi tidak ada yang retak.

Bangunan ini pasti usianya sangat tua, batin Helea.

“Helea, bisa kau kemari?” terdengar suara Momo di ruangan lainnya.

Helea melangkahkan kakinya, mendekati sumber suara yang memanggilnya. Dia tiba di sebuah ruangan yang terdapat batu besar di sana. Batu yang ditumbuhi lumut, namun masih utuh.

The CovenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang