Padahal, hampir setengah jam Jeffrey dan Mark menunggu makanan yang mereka pesan diantar, tapi kelihatannya dua pemuda yang sekarang duduk berhadapan itu tidak akan membuka obrolan apa pun. Jeffrey yang mengajak Mark ke sini pun hanya bungkam, bukan seperti canggung atau semacamnya, justru dia dari tadi mengulas senyum.
Selanjutnya pun, mereka makan dalam diam. Bahkan saat Jeffrey tidak pernah berhenti mengulas senyum, Mark masih dingin. Hanya seolah tidak ada orang yang duduk di depannya.
Mark mengangkat kepala saat menyadari seseorang mengambil duduk di samping Jeffrey. Alisnya turut terangkat bertanya saat pria ber-dimple itu menggeser makanannya ke samping, ke depan gadis berwajah jutek dengan rambut blonde yang membuatnya sekilas terlihat seperti barbie.
Cantik.
"Thank you," ujar Rosé, senyumnya terkembang manis saat bertemu mata dengan Mark, membuat pria beralis camar itu tersedak.
"Enggak, aku gak bisa baca pikiran," kata Rosé, menjawab pertanyaan yang tersirat dari bagaimana mata Mark membelalak panik. "Tapi aku bisa baca apa yang tergambar di wajah kamu."
"Oh..." Mark berdehem kikuk, meraba pipinya yang terasa panas karena malu.
"Tapi kenapa waktu itu kamu ngacangin aku?" tanya Rosé.
"Hm? A-apa?" Mark mengerjap bingung.
"Tadi pagi," kata Rosé. "Udah jelas aku sama Jeffrey nunggu kamu di depan gereja, tapi kamu justru langsung aja pergi. And then you said what? You wanna kill Junmyeon? Tch, shouldn't you at least say sorry to us first?"
Mark semakin bingung. Matanya yang masih sedikit membelalak bergulir menatap Jeffrey meminta penjelasan tentang Rosé yang tiba-tiba mengomel. Dan tentu saja respon Jeffrey sederhana, dia mengambil minum, kemudian kembali mengulas senyum.
Masalahnya, Jeffrey sangat tahu perempuan macam apa Rosé ini. Seandainya Jeffrey mau meredam emosi yang jelas terungkap dari bagaimana gadis itu berbicara, tidak akan pernah ada hasil. Rosé adalah definisi dari perempuan selalu menang.
"Tapi, oke lah, itu gak jadi masalah penting." Rosé berbicara lagi. "Lagian, walaupun kayaknya sekarang kita punya goal yang berbeda, seenggaknya kita bisa pake satu jalan yang sama."
"Mm... kalian juga ada dendam sama Junmyeon?" tanya Mark.
"Kamu dendam sama dia?" Jeffrey menyahut pertanyaan Mark dengan sebuah peryantanyaan.
"... dia ngehancurin mamaku," ujar Mark.
"Ngehancurin...?"
Mark melepaskan sendok di tangannya, begitu juga napasnya yang ikut terhela pelan. Kedua tangannya kini berpautan gelisah di atas pangkuannya, seolah ada sesuatu yang akan dia bicarakan namun enggan. Pemuda itu tampak dilema, tapi kebencian sejak nama Junmyeon disebut juga sama sekali tidak bisa tersamarkan.
"Tapi seharusnya kamu tau apa rencana Junmyeon, kan?" tanya Jeffrey.
"Hm." Mark mengangguk. "It's a very big plan."
"Kamu tau konsekuensinya apa?" tanya Rosé.
Mark kembali mengangguk. "My mom."
Jeda. Semuanya terdiam dengan perhatian yang penuh terarah pada Mark yang masih menunduk.
"Mark, you wanna know something?" tanya Rosé pada akhirnya.
"Apa?"
"Junmyeon... rencana apa pun yang dia buat gak akan pernah berhasil."
Mark mengernyit, menatap Rosé tidak mengerti.
"Itulah kenapa... kamu gak perlu sedih. Jangan takut, kamu milih pilihan yang benar— andaikan kamu emang pengen ngelenyapin Junmyeon. Tapi ada caranya."

KAMU SEDANG MEMBACA
[5] The Guard ; Jeffrey Jung
Fanfiction[ bahasa | on going ] 5th book of Turtle Neck Universe better read the other 4 series before reading this book greencrayons_ ©2021