MALAM itu hujan kembali turun membasahi setiap sudut kota. Semakin larut, namun hujan masih saja enggan untuk mereda, bahkan untuk beristirahat sejenak. Meninggalkan jejak-jejak pilu yang menggenang disepanjang sepinya jalanan, tepat dimana perkelahian terjadi beberapa waktu lalu.
"Gue nyerah aja kali, ya?"
Dia masih memilih untuk diam. Mungkin sudah hampir 15 menit lamanya dia hanya memandangi tetesan air hujan yang mengalir turun di kaca jendela kamar lantai dua. Jaketnya yang basah kuyup dibiarkan tergeletak disamping pintu masuk. Serta handuk yang dipakai untuk mengeringkan tubuhnya yang diguyur hujan, masih menggantung dilehernya.
"Rasanya sakit banget."
Lampu kamar yang redup serta langit malam yang begitu kelam. Seakan membuatnya semakin tersesat dalam pikiran buruk yang bagai benang kusut dikepalanya.
"Minum dulu, Gam." kata seseorang yang baru masuk sambil menyuguhkan secangkir teh hangat.
"Sorry ya gue tengah malem gini kerumah lo. Gue takut bikin orang rumah cemas." jawabnya sambil perlahan meneguk teh hangat itu.
Lelaki itu memberikan tisu dan kotak P3K, "Gimana nggak cemas coba? Liat tuh darah lo."
"Kenapa jadi runyam gini sih, Gam?" sambungnya sembari mengulurkan baju ganti kepada lelaki yang masih menggenggam cangkir teh dihadapannya.
"Makasih" begitu katanya sebelum baju putih yang terdapat bercak darah itu lepas dari tubuhnya, "Gue nggak tau. Gue juga nggak nyangka bakal jadi gini."
"Gue sebenarnya tau. Dan gue udah ngingetin ini dari dulu sama lo. Pernah lo dengerin? Nggak."
"Ini nggak semudah yang lo pikir."
Lelaki itu mendengus kesal, "Emang nggak mudah. Tapi bisa kan diprediksi? Liat sekarang, karena masalah ini ditumpuk-tumpuk, akhirnya? Duarrr!!! Meledak! Itu yang barusan terjadi."
Sembari membersihkan lukanya, dia menghela napas panjang, "Gue bego, ya?"
Lelaki disebelahnya kemudian duduk sambil bersandar pada kasurnya, "Nggak. Semua orang bakal ngelakuin hal yang sama kalau diposisi lo."
"Gue takut salah. Dia bilang ini semua salah paham."
Lelaki itu menepuk bahu Gama, "Itu dia salahnya! Lo selalu dengerin apapun kata dia. Salah, kan?"
Gama mengacak-ngacak rambutnya gusar. Terlihat jelas dia benar-benar frustasi malam itu. Seakan didepan matanya kini yang tersisa hanya jalan buntu.
"Gue harus ngapain?"
"Tanya sama diri lo sendiri. Masih kuat disakitin terus? Ini malah bukan lagi nyakitin, tapi ngehancurin. Cinta nggak sebrengsek itu, Gam."
"Gue beneran capek. Pengen istirahat. Boleh mati nggak, ya?" Gama menidurkan badannya dikarpet kamar itu.
"Boleh. Gue ikut."
"Jangan, bego! Kalau lo mati, gue nitip buat jagain dia kesiapa lagi?"
Satu bantal melesat menghantam wajah Gama yang babak belur, "Sempet-sempetnya lo masih mikirin dia!"
"Duh! Sakit nyet!" katanya sambil memegang pipinya yang lebam, "Tapi gue sayang banget sama dia. Beneran deh! Kali ini gue nggak bercanda."
KAMU SEDANG MEMBACA
BAYANGAN GAMA
Fanfiction"Aku tidak mencintai dengan sederhana, tidak juga dengan segalanya. Aku ingin mencintai kamu dengan jujur, selalu dengan caraku sendiri. Walau seluruh dunia bersaing menujukkan betapa hebatnya cinta mereka, aku tidak peduli. Karena bagiku, cukup kam...