02 | Harga Sebuah Mimpi

237 15 2
                                    

"Tidak ada kata terlalu, dalam sebuah kamus angan-angan.
Dan kata bangun, selalu berada pada bab pertama kamus itu.
Diikuti kata melangkah pada bab selanjutnya.
Hingga berhenti pada halaman paling terakhir yaitu berhasil.
Tepat setelah bab terimakasih untuk aku yang telah bertahan hingga akhir."

~~~~~~~~~~~~~~~♧♧♧~~~~~~~~~~~~~~~

KATANYA bagi anak perempuan, ayah adalah cinta pertamanya. Maka bagi anak laki-laki, ayah adalah mimpi pertamanya. Walau nyatanya itu tidak berlaku untuk semua orang, tapi setidaknya begitu bagi Gama. Papa adalah mimpi yang dia rangkai sejak dulu. Bahkan jika diberi kesempatan berumur panjang, Gama juga ingin menjadi sosok orang tua seperti Papa.

Samar-samar Gama masih bisa mengingat sore itu dia terduduk lemas bersandar pada bantal di punggungnya, bertahun-tahun yang lalu.

"Abang.." terdengar suara Papa setelah bunyi pintu kamar terbuka.

Mama menoleh, "Masih sakit anaknya. Belum mau makan dari tadi." sambil memperhatikan langkah Papa yang mendekat.

Lantas Papa duduk dipinggir kasur dengan tangan yang bergerak menyentuh kening Gama, "Huh!! Panas kayak es!" sambil mengibaskan tangan lagak orang menyentuh air mendidih.

Hanya dengan melihat kembali tawa Gama yang sempat hilang karena diserang demam, raut wajah cemas Papa berganti senyum dan sorot mata yang teduh.

Papa memang tipikalnya begitu, suka bercanda. Dan untung saja satu keluarga mereka receh, terlebih lagi Mama. Bahkan nilai ulangan matematika Juan pun bisa jadi bahan lawakan.

"Ini gurunya salah kasih kali Mas? Mungkin bukan nilai, tapi jumlah saudara."

Begitu kata Papa ketika melihat angka 2 di lembar jawaban Juan, dan Mama sampai sakit perut menertawakan Papa yang pura-pura pingsan setelah Juan menjawab, "Sebenarnya 0 tapi itu dikasih nilai upah nulis nama."

"Kasihannya anakku Tar.. Sini tidur sama Papa." begitu kata Papa sambil menggendong dan merebahkan kepala Gama ke dadanya.

"Nggak usah. Nanti sakitnya pindah, Pa." Gama berkata lirih.

"Abang nggak tau ya? Papa punya sulap menyembuhin penyakit." Mama pun ikut menunggu aksi apa lagi yang akan Papa lakukan untuk sekedar menghibur anaknya ini.

Secara tiba-tiba Papa menjentikkan jari, "Nah! Lihat kan? Abang udah sembuh." belum sempat Gama menggeleng, Papa buru-buru mengambil piring ditangan Mama.

"Belum liat ya? Wahhhh berarti harus makan dulu baru sulapnya berhasil."

Gama terkikik ketika Papa menyuapinya sendok demi sendok dengan segala macam cerita yang mungkin terdengar ada-ada saja, tapi cukup membuat perut dan hati Gama yang sempat kosong menjadi penuh terisi.

Di kamar itu juga, Mama melonggarkan dasi Papa sambil mengusap wajahnya, "Capek ya, Mas? Kamu udah kerja sampai sore gini, harusnya tadi istirahat. Biar aku aja yang urus anak-anak."

"Tara, aku sama kamu itu hidup berdua. Kita harus bersama-sama membesarkan mereka. Kamu tau kenapa setelah makan tadi anakmu bisa tenang? Karena dia bisa merasakan di piring itu ada keringat kerja keras Papanya, ada kasih sayang Mamanya."

Papa mengusap lengan Mama sambil sesekali menatap Gama yang tidur---jelas dia pura-pura biar bisa nguping.

"Demi kamu dan anak-anak, aku siap lelah lebih dari ini. Karena tanggung jawabku besar untuk menjamin masa depan keluarga kita. Jadi, temani aku sampai kita berhasil menjadi orang tua."

Bagi Gama, Papa adalah yang terbaik. Bukan sekedar pekerja keras untuk sesuap nasi, tapi menjadi panutan untuk anak-anaknya. Bukan hanya menghadirkan tawa, tapi juga selama masih hidup atau bahkan ketika raganya telah mati, Papa memastikan bahwa di dunia ini anaknya layak punya tempat untuk bahagia.

BAYANGAN GAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang