05 | Ingatan Tentang Dia

127 16 5
                                    

"Hanya diingatan ini aku mampu merengkuh sisa bayangmu
Walau berangsur senyummu tampak memudar
Atau mungkin kenangan yang menjadi samar
Tapi bagiku, mengenangmu adalah cara sempurna menikmati pedihnya kehilangan."

~~~~~~~~~~~~~~~♧♧♧~~~~~~~~~~~~~~~




SUDAH sekitar lima menit lamanya Gama mengantri dibarisan nomor tiga. Hanya diam tidak bergerak sama sekali, persis seperti kendaraan dijalanan ibukota saat jam pulang kerja. Bahkan saking jenuhnya, Gama ingin sekonyong-konyong bertanya pada mbak Indomaret didepan sana.

"Ada masalah hidup apa sih, Mbak? Sini coba cerita sama saya. Dari tadi saya perhatiin buat masukin minyak bimoli ke kantong aja beban banget kayaknya."

Baru saja Gama bernapas lega ketika antrian ini bergerak maju, namun kembali gelisah saat anak kecil didepannya merengek, "Buk.. Mau kinder joy." dan parahnya, dialog antara ibu dan anak didepan ini terjadi begitu alot. Dua menit, asli dua menit Gama menjadi figuran dalam drama keluarga ini.

"MAU KINDER JOY!"

Nyaris saja Gama menyela, "Lu ambil deh tong buruan! Gue yang bayar cepetan!"

Namun kalimatnya tercekat ketika ibu itu mengelus rambut anaknya, "Itu mahal, nak.. Nanti kalau ada uang ibuk beliin. Sabar ya, jangan marah-marah. Nanti cepet tua mau?"

Hanya dengan mendengar kalimat itu, Gama seakan terlempar ke lorong panjang masa lalu. Tepat didepan kaca, ia melihat pantulan dirinya yang mengenakan baju tidur bergambar shinchan, duduk diatas kasur bersebelahan dengan Mama, 11 tahun yang lalu.

"Abang kesel, Ma. Papa sekarang pilih kasih!"

"Emangnya Papa pilih kasihnya gimana?"

"Masa Mas sama Adek dipangku kanan kiri, Abang enggak."

Mama menghela napas pelan.

Ini jelas bukan pertama kalinya Gama uring-uringan ketika merasa kurang kasih sayang. Terlebih lagi, jika perhatian Papa kepadanya menjadi terbagi, karena Gama memang lebih dekat dengan Papa ketimbang Mama.

Dan keluh kesah Gama memang hanya seputar itu- sering merasa menerima ketidakadilan dalam bersaudara. Walau begitu, ketiga anak Mama terhitung jarang bertengkar, tapi kalau soal rusuh.. minta ampun! Bahkan untuk hal se-sepele jumlah kerupuk diatas piring, mau adu mulutnya sampai nasi keburu jadi beras lagi.

"Bang.."

"Abang lupa ya kalau misalnya Abang ketiduran di sofa tapi bangun-bangun udah di kamar- yang pindahin siapa? Papa kan? Yang ngajarin Abang naik sepeda emangnya siapa? Papa juga, kan? Terus kemaren waktu Abang jatuh karena ikutan Mas manjat pohon, yang lari buat ngobatin Abang dan ngomong 'kalau jagoan mah nggak bakal nangis' siapa? Papa kan, Bang?"

Gama terdiam.

Terbesit penyesalan dihatinya ketika dengan gampangnya dia melupakan kasih sayang Papa selama ini. Sosok pahlawan yang selalu dia bangga-banggakan pada seisi dunia, "Papaku itu Papa paling keren! Jagoan paling hebat! Nggak ada satupun yang bisa ngalahin Papaku. Tau karena apa? Karena Papaku sehebat Naga."

Ya, itu bukan mengada-ngada. Nama Papa memang Naga. Lengkapnya, Naga Pramudana.

"Jadi kalau pahanya Papa cuma muat dua orang, maafin aja ya? Dan bukan berarti Papa nggak sayang sama Abang, kan? Lagian.. disini juga ada Mama, nih pelukan Mama masih kosong." sambung Mama.

Didepan matanya, Mama berkata begitu dengan senyum dan tangan yang terentang lebar, membuat Gama perlahan menarik kedua sudut bibirnya. Seakan mengisyaratkan, "Untuk apa sedih? Toh dia bakal baik-baik aja selama ada Mama."

BAYANGAN GAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang