Banjir Darah di Amandit

76 4 4
                                    

Kabut yang setipis selendang anak gadis jatuh di Amandit, amis darah menguar di udara. Gagak Picak memandang sendu di kejauhan, di tangannya lagi-lagi tertumpah sebuah nyawa. Sementara itu di kotaraja Negaradaha, subuh selaiknya sebuah pelukan kekasih yang kian melelapkan.

   Kenangannya hanyut dilarung derasnya Amandit, yang konon lahir karena perkelahian tiga ekor naga. Gagak Picak sang kepala ahui lanun sungai Amandit terdiam, dilihatnya ke atas, semerbak langit tanpa bintang. Ini sudah nyawa keempat orang Jawadwipa yang harus tumpas ditangannya.

   Sesal larut dalam kenangan yang berbisik, tentang peristiwa di Nansarunai kala Arya Mandalika Mpu Nala dari prajurit Bhayangkara Majapahit menombak pupus Raden Anyang. Terngiang di telinganya apa yang dulu dikisahkan orang tuanya, tentang para nini datu di Nansarunai dan sentosanya kerajaan suku bangsa mereka dulu.

  Sehela nafas ditarik Gagak Picak ke paru-parunya, ia perhatikan sejenak mayat yang rebah di hadapannya, luka yang melintang di dada, darah yang merembes ke tanah, dan mulut terbuka yang tak sempat meneriakkan apa-apa. Bahkan rasa sakit saat kematian itu merenggut tak sanggup ia bahasakan, sosok asing di hadapan Gagak Picak itu mati dalam cara yang paling sunyi.

    Suara bising memecah udara, heningnya subuh di meratus dipekakkan kepakan sayap yang membelah udara. Suara parau dari makhluk spiritual bumi Kalimantan itu meremangkan hati siapa saja yang mendengarnya. Gagak Picak terkejut dengan kehadiran burung Anggang yang melintas di tempatnya berada, di subuh yang lelap serta redup yang berkabut hewan mistis itu melenggang begitu saja.

  Tertegun Gagak Picak melihat burung Anggang terbang melintas, di sudut matanya ia terus melihat burung itu terbang semakin menjauh, menyatu dengan kabut lalu tenggelam dalam pelukan purba rimba meratus. Seketika itu pula kabut itu merekah, di langit segaris tipis cahaya muncul pertanda pagi sudah mengganti subuh.
Sebuah hari baru telah hadir, Gagak picak meneguhkan hatinya bahwa ini adalah firasat. Para nini datu berbahasa dengan bisikan alam, melalui pertanda, melalui guguran embun, gesekan daun, serta keheningan.  Bumi Nan sarunai kembali akan berjaya, tiang-tiang megah akan menyangga istana dan balai adat seperti dulu, seperti zaman nini datu.

***

Pagi yang basah, hutan yang diselimuti tipisnya kabut serta dengan diam-diamnya mentari mulai membuka hari tidak membuat Mahisa Grimba nyaman atau tenang. Para anak buahnya pun sunyi dalam keheningan hutan. Hutan di sepanjang arus sungai Amandit, hanya derasnya arus membelah heningnya hutan.

Mahisa Grimba tahu walaupun kota raja hanya tinggal setengah hari lagi dan para pengawal kerajaan sebagian sudah disuap untuk mempermudah masuknya barang yang ia selundukan dari Jawadwipa untuk menghindari pajak, ia sama sekali belum aman. Kapal yang membawa selundupan milik Mahisa Grimba tidak berlabuh ke Bandar Muara Bahan, namun sedikit ke arah timur laut, lalu melintasi sungai Kapuas, kemudian singgah di pesisir sungai Kapuas dan dengan menerobos hutan sebagai jalur aman dari pengawasan tentara kerajaan Negara Daha.

Jalur aman yang dipilih Mahisa Grimba merupakan hasil koneksinya dengan orang dalam kerajaan dan penduduk pinggiran sungai. Dari pesisir Kapuas menuju pegunungan Meratus diterabas oleh Mahisa Grimba dan puluhan anak buahnya. Seperti sebelumnya setelah tiba di sekitar pegunungan Meratus, ia singgah di desa setempat  sekedar mengistirahatkan diri sebelum melanjutkan ke Negara Daha, kota Raja yang baru.

Pemindahan ibu kota kerajaan yang sebelumnya berada di Amuntai, pusat dari kerajaan Negara Dipa. Masa-masa transisi perpindahan ibukota dan kekuasaan politis, menyebabkan stabilitas ekonomi terguncang, biaya pembangunan kota raja yang baru menyebabkan naiknya pajak kepada seluruh kalangan. Sudah lima tahun Maharaja Sari Kaburangan, atau ketika masih mudanya bernama Raden Carang Lalean yang menghabiskan masa mudanya di tanah seberang, di Jawadwipa, memindahkan pusat pemerintahan dari Negara dipa menuju Negara Daha dengan alasan tanah leluhurnya telah kehilangan tuah.

   Selimut tipis berupa kabut, serta basahnya dedaunan seharusnya menandakan bahwa pagi itu yang walaupun sudah disibak matahari terasa dingin. Namun, Mahisa Grimba bermandikan keringat, matanya terus melihat di sekitar, kepada lebatnya hutan. Orang kepercayaannya Awang Jabuk berdiri di sampingnya dengan parang yang terhunus dan seluruh pengawal  serta anak buahnya membentuk formasi serupa tabir tak terlihat yang melindungi Mahisa Grimba dan barang bawaannya. Heningnya hutan hanya dipecah oleh bunyi ranting yang terinjak, burung di pagi hari, dan derasnya sungai Amandit. Harum tanah yang basah tak seharusnya mematikan indera, ketika tiba-tiba dari rimbunnya dedaunan menyeruaklah sekumpulan manusia berbaju kulit kayu dan bersenjatakan mandau dan parang.

  Pemimpin kelompok itu berdiri dengan kokoh sembari membuat terhalangnya sinar matahari yang baru saja muncul. Kawanan tersebut membentuk formasi setengah melingkar menghadang kelompok Mahisa Grimba. 
 
    Keheningan yang membeku terpancar dari parang-parang yang terhunus, tatapan antara Awang Jabuk dan pemimpin kelompok penyergapan itu sama-sama sunyi. Ketenangan yang membuktikan bahwa mereka sama-sama pilih tanding.

   Bagi para jagoan hanya ada satu serangan, satu serangan yang membedakan yang hidup dan yang mati. Mahisa Grimba semakin mengkerut ketika melihat kelompok penghadang berdiri memblokir jalan, walau dikawal oleh puluhan orang dan memiliki tangan kanan yang pilih tanding, tetap saja ia digelayuti ketakutan. Ketika serangan dari penghadang dimulai, bunyi parang bertemu parang, suara tendangan yang membelah udara, darah yang terpancar menebar bau amis di udara.

   Awang Jabuk sang tangan kanan Mahisa Grimba menerjang masuk ke sisi para penghadang rombongan mereka. Di tangan kanannya tersampir parang lais yang sudah terlepas dari sarungnya. Artinya parang tersebut sudah bersiap untuk mencabut nyawa dan menjilati darah musuh milik tuannya.

  Sebuah tendangan mengarah ke rusuk dilayangkan Awang Jabuk sembari ia menghindari tebasan parang dan mandau yang mengincar tubuhnya.

  "Arghh..." Sebuah teriakan memecah pagi yang hening. Rupanya tendangan Awang Jabuk tadi sudah mematahkan tulang rusuk sebelah kiri salah satu anggota penyerang yang sedang mencegat rombongannya. Orang itu langsung roboh dan mandau yang ia genggam pun terlepas dan jatuh di tanah.

  Sekelebat Awang Jabuk melesat melewati rombongan penghadang tersebut dan melayang menyerbu ke sosok yang ia yakini sebagai pemimpin dari kelompok yang sedang mengincar benda yang sedang dibawa Mahisa Grimba.

  Parang bertemu dengan mandau, tebasan sebuah parang lais yang berada dalam genggaman Awang Jabuk beradu dengan mandau yang juga tengah mengincar nyawa untuk direnggut.

  Bunga api terpancar di udara ketika besi dari kedua jenis senjata itu saling hantam dan bergesekan. Mata Awang Jabuk dan Sang Penyerang saling beradu, mereka berdua saling membaca kekuatan masing-masing.

Hutan yang harusnya hening itu kini pecah seakan dibanjiri oleh teriakan, wangi anggrek hutan di pegunungan Meratus pun harus digantikan dengan amis darah yang menguar di udara. Semua hewan di hutan tersebut terdiam melihat para manusia saling tikam, tebas, dan bunuh. Mereka seakan tidak habis pikir ada makhluk di dunia ini bisa saling bunuh hanya untuk kesenangan dan bukan untuk bertahan hidup.

  Tawa, teriakan karena rasa takut, tubuh yang menggigil, bagian tubuh yang terpotong semua menjadi satu di pagi itu. Di pinggiran hutan, di tepian Sungai Amandit yang menurut legenda terlahir karena perkelahian tiga ekor naga.

  Sementara itu di kesunyian yang lain, kematian hanyalah sebuah jalan yang harus ditempuh sendirian. Daun gugur dan sungai bergemiricik.

     Mahisa Grimba, orang Jawadwipa yang berasal dari pelabuhan Ujung Galuh tiba-tiba merasa sesak dan dingin di dada, ketika ia tersadar dinginnya besi menembus dadanya. Sebuah tombak yang dilemparkan dari rimbunnya hutan secara diam-diam berhasil menerobos barisan pengawalnya. Kematian pertama pagi itu menjemput seorang kasta Waisya.

Amuk di CandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang