Deru Amandit

8 0 0
                                    

   Amandit menderu, arusnya menenggelamkan teriakan para penyerang Pandu Janaka. Riak gelombangnya bagaikan sabetan ekor naga, entah lanting gadang pisang milik Pandu Janaka atau jukung milik para penyerang dirinya. Kedua benda yang sedang terhanyut di sungai Amandit itu seakan hendak terhempas.

  Kedua penyerang yang terkena hantaman sepasang tongkat ilatung Janaka tersebut pun terjatuh ke sungai Amandit yang bearus kencang. Seandainya yang terjatuh itu daun maka Amandit akan menghanyutkannya ke hilir, seandainya yang terjatuh tadi adalah batu maka Amandit akan menenggelamkannya ke dasar sungai.

  Lalu, bagaimana jika seseorang melemparkan semua perasaan atau kenangannya di deru Amandit? Maka riak sungainya akan melarutkan semua kenangan. Segala hal akan berlalu dan semua sepi dan sakit itu akan ikut hanyut bermuara ke sungai Barito dan luruh ke laut Jawa.

   Lalu bagaimana nasib kedua penyerang bersenjata parang yang tiba-tiba saja ingin mengahabisi Pandu Janaka?

    Sama seperti kenangan, batu, atau daun yang jatuh di deru Amandit. Arus derasnya menghantam segalanya.

  Para penyerang itu pun jatuh di Amandit.

    Kedua bahu penyerang tersebut mengalami dislokasi sehingga tak sanggup lagi menggenggam senjata, Janaka melayang turun dan jatuh tepat di tubuh kedua penyerang yang berusaha menyelamatkan diri dengan berenang ke samping.

  Arus sungai Amandit menyeret kedua penyerang tersebut dan dengan sekuat tenaga kedua orang itu berusaha untuk tidak terhanyut.

    “Arrggh-aahh...!!!”, teriak kedua penyerang yang tubuhnya diinjak Janaka saat jatuh. Sejenak kedua tubuh penyerang tersebut tersentak.

     Pandu Janaka menjejak tubuh kedua penyerang yang terjatuh tersebut dengan ringan dan kemudian ia melesat menuju dua jukung yang diisi oleh mereka yang menyerang Pandu Janaka dengan lesatan tombak.

    Pandu Janaka tersenyum simpul di dalam hati. Dirinya sungguh mengenali gaya bertarung para penyerang dirinya. Sistim tempur, pola taktik, cara memainkan senjata dan tentunya senjata yang digunakan oleh mereka.

  Sungai Amandit menderu deras namun angin hanya bertiupan dengan lembut, oleh karena itu dedaunan hanya berdersik begitu saja. Tak ada yang tertiup lalu jatuh dan kemudian hanyut di bawa Amandit.

   Sekejap saja Janaka sudah berada di salah satu jukung milik penyerang tersebut, sosok penyerang yang membokongnya dengan lesatan tombak di antara rimbun dedaunan di pinggir sungai.

   Tanpa sempat sang penyerang sadari, Pandu Janaka sudah berada di dekat dirinya. Jukung alias perahu yang mereka kini naiki berderak menimbulkan gelombang, karena lompatan Pandu Janaka.

    Lalu secepat kilat juga ia melayangkan tongkat ilatung di tangan kanannya menuju rusuk sang lawan, sosok itu terbatuk dan mengeluarkan darah pertanda dirinya menderita luka dalam. Sang lawan pun langsung tertunduk karena rasa ngilu akibat patah tulang rusuk.

  Sosok pelempar tombak itu terduduk dengan kedua lutut menyentuh lantai jukung. Rasa nyeri yang menjalar di tubuhnya telah melumpuhkannya.

Lalu sehelaan nafas kemudian Janaka sudah berada di jukung satunya lagi dan seperti yang dialami oleh sang kawan, sosok penyerang itu tak sempat bereaksi apapun.

   Setelah sang kawan muntah darah akibat tulang rusuk sebelah kanannya patah. Maka kini sosok lain yang menyerant Pandu Janaka dengan tombak tersebut terlempar ke sungai karena sebuah tendangan yang dilayangkan Janaka.

   Tidak sampai sepenginangan atau bahkan satu bakaran dupa, semua orang yang mencoba membunuh Pandu Janaka berhasil ia lumpuhkan lalu tanpa harus membuatnya lawannya tewas atau terluka parah.

  Hanya dengan sebuah loncatan ringan ia kembali berada di rakit miliknya, sebuah lanting yang terbuat dari gadang pisang. Arus sungai Amandit kala itu mengalir lembut, lanting Janaka pun terhanyut pelan. “Kenapa mereka mengincarku?” Pikir Janaka.

Amuk di CandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang