Hantu Banyu di Pesisir Barito

18 0 0
                                    

   Qing su menyapu lelehan peluh di wajahnya, hari yang begitu panas seperti hari ini begitu menyiksanya. Tetiba saja ia merindukan kampung halamannya, pada hari-hari dimana dari langit berguguran benda halus berwarna putih dan meninggalkan rasa dingin di kulit.

  Di tanah kelahirannya, ketika salju jatuh di hari pertama biasanya akan disambut dengan gembira oleh para anak-anak. Guguran benda putih yang tercipta dari partikel uap air yang membeku karena tiupan angin dingin itu bagai penawar lelah akan teriknya musim panas.

  Ibunya dulu selalu menghangatkan sup untuk dirinya ketika masih kecil, ia selalu jatuh cinta dengan masakan ibunya apapun jenisnya. Keluarga mereka terlampau miskin untuk bisa memakan daging, jadi kadang ketika musim dingin tiba Qing Su kecil dengan pakaian tebal yang terbuat dari bulu dan kulit hewan akan menerjang tiupan angin dingin dan pergi ke danau di pinggir kota.

  Ketika musim dingin tiba maka danau di pinggir kota itu akan membeku, lalu Qing Su kecil akan pergi mencari ikan di tengah danau yang membeku.

  Semuanya yang dulu semarak dengan warna-warni pun kini kuyup, entah pepohonan yang menghijau, bunga-bunga yang ditanam sang ibu semua tunduk dalam hukum kefanaan. Bahwa tidak ada yang abadi di muka bumi ini.

  Kata sang ibu kepada Qing Su kecil bahwa pergantian musim pun bisa memberikan pengajaran bahwa hidup ini hanya sementara saja. Segala kesedihan akan berlalu, kemudian berganti bahagia. Semua tawa akan berlalu, kemudian berganti air mata.

  Bahwa mensyukuri hidup adalah cara paling sempurna untuk menjalani kefanaan.

  Kenangannya Qing Su menyeretnya begitu jauh ke masa lalu, sejauh dirinya kini dengan tanah tumpah darahnya. Kini sejauh mata ia memandang hanya hamparan biru lautan, seakan di hadapannya kini adalah permadani dari persia. Sebelum berkelana ke Nan Yang sebutan untuk nusantara atau pulau di sebelah selatan negeri tempat lahirnya, Qing Su pernah menjadi bagian kalifah perdagangan yang melintasi jalur sutra, melintasi pegunungan dan gurun pasir dengan berkendara unta.

   Kini ia telah menjadi pemimpin dari kafilah perdagangannya sendiri, namun bukan gurun pasir dan curamnya pegunungan yang harus ia taklukkan kini melainkan lautan luas nan kejam, hutan-hutan gelap, dan para pemburu kepala di pedalaman.

   "Jaro, apakah masih jauh Bandar Muara Bahan?", tanya Qing su kepada salah satu pegawainya yang juga merupakan kapten kapal yang membawa barang dagangannya.

  " Masih setengah hari lagi tuanku!", sahut Jaro namun matanya tetap fokus ke depan, ke barisan pohon-pohon bakau yang seolah menjadi penanda jarak menuju tempat yang akan mereka datangi.

   Qing su tahu bahwa masih memerlukan waktu hampir setengah hari lagi untuk sampai di Muara Bahan, ini bukan kali pertama dirinya berniaga ke Bandar Muara Bahan. Dirinya hanya ingin memecah keheningan yang tiba-tiba saja melanda kapal niaga miliknya.

   Matahari berdiri dengan angkuh di pucuk langit sana, seakan ia raja angkuh yang tiap katanya adalah hukum dan undang-undang. Ada keheningan yang menusuk ketika kapal niaga mereka telah berhasil melewati lautan dan kini memasuki bagian dari sungai Barito.

  Petang nanti, ketika matahari bersinar redup dan langit berwarna jingga maka mereka akan tiba di Bandar Muara Bahan. Qing Su juga merindukan gundik miliknya yang telah ia beli dari pelaut bugis ketika pertama kali ia memutuskan berniaga di bagian tenggara Kalimantan ini.

   Lautan luas dan membentang telah terlalui, namun bukan berarti sungai yang kini sedang mereka lintasi itu kecil. Sungai Barito adalah jalan raya bagi para kapal niaga yang akan menuju Bandar Muara Bahan, sungai yang lebar dan luas bahkan lebih mirip lautan itu sanggup dilewati oleh puluhan kapal-kapal besar.

Amuk di CandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang