Awal Penyelidikan

21 0 0
                                    

      Bayangan yang memanjang mengarah ke timur, sinar matahari yang meredup ketika burung-burung pipit melayang pelan ke halaman. Pandu Janaka dan Utuh Bulat terus asyik mendiskusikan tiap kemungkinan, ketika ada beberapa prajurit keraton berpatroli di sekitaran tempat mereka.

    Dua orang dari mereka berpatroli sambil berbisik “oh.. busu sudahkah mendengar kabar bahwa mayat Mahisa Grimba dibawa oleh prajurit pengawal Tutuha Demang Jantan.” Ujar salah satu pengawal sambil berusaha sepelan mungkin agar suaranya hanya didengar kawannya. “Sst… Jangan terlalu keras bersuara…nanti hilang kepala milikmu bila asal bicara.” Kawannya menimpali.


     “Ini betul kok, malah katanya mayat Mahisa Grimba akan dikremasi dan abu pembakarannya akan dikirim kepada keluarga di ujung galuh.” Balas prajurit yang memulai pembicaraan tadi. “Hah…apakah sudah selesai penyelidikan kematian Mahisa Grimba?” Sahut kawannya yang semula tak tertarik dengan kasus pembunuhan ini.

“Kasus sudah ditutup wahai temanku, dengan kesimpulan bahwa Mahisa Grimba dibunuh karena dendam pribadi oleh orang yang sakit hati terhadap dirinya”. Ujar prajurit berbadan tinggi namun sedikit tambun itu.

     Kawannya terhenyak seakan teringat sesuatu, sebelum tiba-tiba komandan mereka berteriak keras kepada mereka berdua “kalian berdua ini seperti perempuan saja, bergosip saat tugas patroli, tugas kita adalah memastikan keraton aman bukan bergunjing tentang soal mati dan hidupnya orang yang tidak ada hubungannya dengan keraton.” Ujar sang komandan sengit, sambil disahut riuh tawa beberapa teman di pasukan mereka.

     Kedua pasangan prajurit yang saling berbisik tadi pun langsung diam dan berusaha menunjukkan postur siaga sambil berusaha menahan malu karena tawa kawan mereka yang lain.


      Utuh bulat menceritakan informasi yang ia dapat, Pandu Janaka dengan seksama mendengarkan apa yang dilaporkan oleh karibnya tersebut, walaupun semua informasi yang diceritakan oleh Utuh Bulat sudah ia ketahui sebelumnya. Janaka walau ia terlihat dengan serius mendengarkan apa yang dikatakan oleh Utuh Bulat, sebenarnya ia juga mendengarkan apa yang dibisikkan para prajurit jaga yang sedang berpatroli tadi.

    Walaupun hanya selintas, seakan bisikan itu angin yang bertiup saja, Pandu Janaka mampu mendengar dengan sempurna, pertanda kemampuan olah bathin yang ia latih hampir mencapai puncaknya.
Semua informasi yang diketahui oleh Janaka dan Utuh Bulat saling dicocokkan satu sama lain.

    Saling silang informasi mencari detil yang tidak sesuai, atau sekedar pernyataan yang dilebih-lebihkan. “Sanak.. nampaknya pihak kerajaan tidak ingin berita ini tersebar." Ujar Utuh Bulat, walaupun secara hierarki jabatan ia di bawah Janaka namun saat mereka hanya berdua saja, Utuh Bulat menggunakan sapaan yang lebih santai. Pun, Janaka tak pernah memedulikan hal tersebut, ia tak terlalu perduli dengan penghormatan palsu pada pemangku jabatan. Persahabatan sejati, melintasi batas-batas hierarki baginya.


  “Apakah memang benar seperti itu? Lalu pihak kerajaan yang mana? Apakah penghilangan mayat Mahisa Grimba ini adalah perintah langsung yang mulia Maharaja Sari Kaburangan? Mungkin juga ini adalah perintah Tutuha Nang Batuah Demang Jantan, toh kabarnya pasukan yang mengambil mayatnya Mahisa Grimba adalah orang-orangnya." Ujar Pandu Janaka melemparkan tanya.

    Mata Utuh Bulat menyipit, dengan pipi yang nampak semakin membulat “ perasaan aku tidak ada memberi informasi bahwa anak buahnya Tutuha Nang Batuah Demang Jantan yang mengambil mayat tersebut” sahut Utuh Bulat. Janaka diam saja mendengar sahutan jawaban dari kawannya tersebut, ia setenang daun yang jatuh. 

    Utuh Bulat Nampak semakin lucu dengan wajah yang seakan-akan hanya dipenuhi pipi, dengan mata yang menyipit ia melirik kawannya yang merenung seakan dirinya patung. Keheningan meleleh dan menangkupi malam, sementara sinar pelita bekerjapan seakan tangan yang timbul tenggelam berusaha menggapai daratan.

Amuk di CandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang