Geger di Kotaraja

31 1 0
                                    

    Sang surya sudah meninggi saat hiruk pikuk terjadi di kota raja. Pasar yang biasanya bising oleh suara ribut penjual dan pembeli kini dipenuhi bisik-bisik soal korban pembegalan di hulu sungai Amandit. Gosip yang menyebar mulut ke mulut, semakin berkembang dengan pesat, fakta menjadi tidak penting lagi. Dikabarkan ada beberapa korban yang berhasil selamat namun memilih untuk tutup mulut, memutuskan untuk lapor kepada pihak prajurit kerajaan adalah sesuatu yang tidak bijak. 

   Mahisa Grimba, pimpinan mereka telah tewas begitu juga Awang Jabuk yang tidak diketahui nasibnya kini. Walaupun Mahisa Grimba adalah saudagar yang baik dan punya pengaruh di kota raja, namun tindakan mereka kali ini adalah illegal. Menyelundupkan garam untuk menghindari pajak adalah bisnis kotor yang sudah sering mereka lakukan semenjak pemindahan kota raja yang semula di Negara Dipa menuju Negara Daha.

   Pandu Janaka sudah sedari pagi berkeliling pasar dan sudut-sudut kota untuk mencari berita tentang kematian sang saudagar, berusaha mencari sisa-sisa anak buahnya yang berhasil selamat dari sergapan begal. Ia tahu, sudah dipastikan para anak buah Mahisa Grimba menolak melapor kepada pihak kerajaan, karena ini menyangkut pekerjaan kotor sang saudagar mulia. Dari warung ke warung, setiap penjual wadai, bahkan penjual ikan didatangi Pandu Janaka. “Ooo… Pakacil, apakah  ada mendengar labor mayat yang ditemukan di pinggiran sungai Amandit?” Ujar Pandu Janaka sembari menunduk dan melihat-lihat ikan haruan dalam wadah si penjual, bersikap selaiknya pembeli yang hanya ingin perbincangan basa-basi sebelum ganasnya tawar menawar antara pedagang dan pembeli.

    Dibenahinya topi purun yang dipakai si penjual, sembari memandangi lekat-lekat pemuda di hadapannya. Pria tua penjual ikan ini menebak dalam hati umur pemuda di hadapannya ini, di pertengahan 20an pikirnya dalam hati. “Iya benar jadi heboh di kotaraja, kabarnya yang meninggal adalah orang dekat kerajaan, seorang berderajat tinggi dari kasta waisya.” Ujar si pedagang ikan sembari menunjukkan ikan terbaik hasil tangkapannya. “Nah… ini ikan segar hasil tangkapan malam tadi” ujar si penjual ikan.

  Janaka memegang ikan hasil tangkapan si penjual, seakan-akan menimbang keputusan untuk membeli atau tidak. “Apakah benar setelah ditemukan orang, mayatnya langsung hilang?”. Sejenak bersitatap antara pak tua penjual ikan dengan pemuda berumur pertengahan duapuluhan itu. Teriakan anak-anak yang menangis minta dibelikan wadai alias jajanan pasar kepada ibunya, tawa campur amarah para penjudi sabung ayam di sudut kota, lalu tatapan sedih para wanita melihat orang yang ia cintai pergi ke banua urang alias ke negeri orang di tanah seberang.

    Sejenak si penjual ikan tersenyum kecut  lalu berujar “baiknya… Andika tidak perlu tahu, tak perlu ikut kambing tumbur seperti kata peribahasa alias tidak perlu ikut campur dan menjadi heboh. “Menurut kabar… mayatnya langsung dibawa oleh pihak kerajaan kemudian langsung dikremasi dan segera diantar pulang ke tanah kelahirannya di Jawadwipa”.

     Sejenak kemudian, dilemparkan Pandu Janaka beberapa keping uang kepada si penjual ikan. Terkesiap karena kilau kepingan dan denting uang yg berbenturan, ia melongo sebentar dan selanjutnya dengan tergagap mengucapkan terima kasih. Dengan memegang ikan haruan yang dibungkus daun pisang, Pandu Janaka melesat membelah lautan manusia di pasar, menerobos alun-alun kota yang penuh sesak dengan langkah kaki seringan angin. Benaknya berujar ia percaya juga sekaligus tak percaya dengan ujaran si pedagang ikan. Di hiruk-pikuknya alun-alun kota raja, di suatu sudut dekat gerbang keraton ia melihat seorang ibu dan anak lelakinya yang terlihat kurus karena kurang makan duduk bersandar di sebuah batang pohon.

   Hanya dengan satu sentakan ringan namun kuat, ikan yang dibelinya tadi sudah berpindah tangan lansung ke hadapan ibu dan anak tersebut. Seringan angin, selembut awan Pandu Janaka menghilang dalam riuhnya alun-alun kota raja, menyisakan ibu dan anak yang sejenak terpana dengan seekor ikan haruan besar di hadapan.

    ***

  Utuh bulat baru saja tiba di pelataran pos singa raja, pemuda berbadan gempal nan tambun namun lincah ini merupakan orang kepercayaan Pandu Janaka. Saat tiba di Negara Daha dari berpetualang di swarnadwipa dan jawadwipa, Pandu Janaka ditunjuk menjadi anggota singa negara oleh Arya Tranggana mahapatih kerajaan Negara Daha saat ini. Arya tranggana ditunjuk sebagai mahapatih setelah moksanya Mahapatih Lambung Mangkurat di ibukota kerajaan yang terdahulu.

    Matahari yang meninggi, peluh yang mulai bercucuran, Utuh Bulat dengan enaknya segera duduk mengaso di pelataran sembari mencomot ubi kukus yang tersedia di dipan. Seringan angin, setenang daun yang jatuh di halaman tetiba saja Pandu Janaka sudah duduk ikut mengaso bersama Utuh Bulat yang untuk kaget saja pun tak sempat. Sudah terbiasa melihat kedatangan sang kawan laksana halimun alias kabut, membuatnya tak kaget lagi.

“Sanak!" Ujar Utuh Bulat dengan mulut masih disumpal ubi rebus. Pandu Janaka menyikapi dingin terhadap sapaan sahabat karibnya itu. Ia tampak tengah berpikir keras, mencoba mencerna kasus kematian Mahisa Grimba di sungai Amandit. Dari semua hasil penyelidikannya semua orang mengisahkan cerita yang sama, bahwa setelah ditemukan adanya mayat yang diyakini adalah Mahisa Grimba saudagar dari jawadwipa, tiba-tiba saja ada sekelompok orang yang mengaku pihak prajurit kerajaan yang mengambil mayat tersebut.

    Pandu Janaka sebagai salah satu anggota pasukan Singa nagara bahkan tidak tahu ada laporan tentang penemuan mayat, kecuali dari hebohnya warga di alun-alun kota. Tidak ada laporan pembunuhan, barang yang hilang, para anak buah Mahisa Grimba yang berhasil selamat tak satupun muncul, tak ada barang bukti yang tersisa setelah penyergapan di tepi sungai Amandit, lalu pertanyaan terbesarnya adalah mengapa Mahisa Grimba berada jauh di daerah kaki pegunungan Meratus, sedangkan untuk ke kota raja jauh lebih mudah menyusuri sungai Negara dari Bandar Muara Bahan. Satu hal yang diyakini Janaka, bahwa Mahisa Grimba menghindari pemeriksaan prajurit kerajaan, lalu yang menjadi pertanyaan adalahbarang apa yang hilang?

      Utuh bulat cukup lama membiarkan Pandu Janaka asyik dengan pikirannya sendiri. Sesekali ia ambil lagi ubi rebus yang masih tersisa di dipan. “Sanak…, tadi aku sudah mencari petunjuk di sudut-sudut kota, aku kira kita memperoleh info yang sama bahwa mayat Mahisa Grimba sudah diambil petugas kerajaan." Ujar Utuh Bulat membuka percakapan.

    ”Sepertinya tidak ada informasi yang baru." Sahut Janaka. “Aku sebenarnya masih bisa mengira-ngira apa yang diselendupkan Mahisa Grimba, kemungkinan sang saudagar membawa garam dari Jawadwipa dan untuk menghindari pajak yang diterapkan oleh pihak kerajaan oleh sebab itu ia memilih jalan yang memutar” sambung Janaka sembari ia membenarkan duduknya.

   Semasa proses perpindahan pusat pemerintahan Negara Dipa di Amuntai ke Muara Hulak Negara Daha, Maharaja Sari Kaburangan menetapkan pajak yang tinggi untuk garam. Masa transisi perpindahan ibu kota menyedot tiap pundi-pundi emas kerajaan dan mengakibatkan keuangan kerajaan mulai goyah. Pajak yang tinggi terhadap orang-orang atas angin pun mulai diterapkan, pula pajak atas hasil bumi rakyat pun ikut dinaikkan.

    Garam merupakan komoditas penting, selain sebagai pemberi rasa pada makanan, garam juga berfunsi sebagai pengawet. Pada masa awal-awal Negara Daha, orang-orang dari swarnadwipa yaitu dari kerajaan Malayupura berimigrasi ke Negara Daha untuk menghindari  peperangan yang terjadi di negeri asal mereka.

Amuk di CandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang