Terkenang

18 0 0
                                    

       Langit timur sesaat menuju malam, Karantika si bintang timur menyeruak dengan sinar yang meluluhkan hati para perindu. Pula untuk tiap air mata yang berderai dari para kekasih. Pandu Janaka menemukan dirinya sudah berada di pinggiran kota raja, setelah pergi untuk mencari makan di alun-alun kota.

        Hutan yang berdesir karena tiupan angin, suara-suara makhluk malam yang bersahutan, Janaka menyandarkan dirinya pada sebuah batu besar. Ingatannya membawa ke masa lalu, sewaktu mengunjungi Negara Dipa. Ketika Putri Kalungsu yang dulu melupakan Raja Putri Negara Dipa serta ibu dari Maharaja Sari Kaburangan menolak ikut pindah ke ibu kota yang baru.

    Raja putri yang konon kecantikannya tidak termakan usia. Diyang Paramitha salah satu dayang dari sang Raja Putri lah yang mengikat Janaka dan menariknya kepada ingatan di masa lalu. Saat itu, bulan hidup tanggal 21. Rembulan yang bimbang, karena seharusnya rembulan muncul sesaat menuju petang, namun di hari itu bulan muncul setelah jingganya langit tersapu malam. Pertemuan tak sengaja Pandu Janaka dan Diyang Paramitha menumbuhkan rindu yang tertanam menjadi bunga yang mekar.

     Tak pernah ada banyak kata jika mereka saling betemu, hanya saling selintas tatapan mata. Ketika setiap bujukan kepada sang raja putri diacuhkan, maka Diyang Paramitha sebagai dayang kepercayaan sang raja putri pun tetap berada di Negara Dipa, sedangkan Janaka harus bertugas di Negara Daha.

   Rembulan seperti taring serigala, masih jauh dari sempurnanya purnama. Janaka berdiri dan mengambil sebilah tongkat pendek dari kayu ulin yang terselip di pinggang. Ia tarik dirinya ke dalam kekosongan,lalu dalam satu helaan nafas ia mainkan jurus tongkat pendek andalannya yaitu merupakan adaptasi dari jurus pedang tanpa nama. Jurus ia warisi sewaktu pengelanaannya di Swarnadwipa. Rasa rindu yang mencengkram lalu cinta yang tak terkatakan ia mainkan dalam tiap barisan tusukan dan tebasan pedang tanpa nama.

     Jurus pedang tanpa nama aslinya adalah jurus pedang dari pendekar pengelana dari tiongkok yang bernama yuen hao, sewaktu ia mendapat perintah dari kaisar tiongkok untuk menemansi seorang biksu yang bernama Yi jing untuk menuntut ilmu ke Nalanda tanah kelahiran sang budha. Sebelum menuju Nalanda ia singgah di swarnaddwipa untuk belajar sabdavdiya atau tata bahasa sansekerta.


    Yuen hao menemani Yi Jing menuju Nalanda selama beberapa tahun di sana ia juga belajar seni kalaripayat yaitu seni perang kasta ksatria dari Jambudwipa. Setelah cukup lama berada di Nalanda biksu  pengelana Yi Jing dan karib setianya Yuen Hao kembali ke swarnadwipa dan menetap selama lima tahun.
   
   Swarnadwipa meninggalkan kesan yang dalam kepada Yuen Hao sehingga ketika Yi Jing memutuskan untuk kembali ke Tiongkok, Yuen Hao memutuskan untuk tinggal di swarnadwipa dan berpisah jalan dengan karib sekaligus gurunya.

   Jurus pedang yang ganas hasil olah rasa, raga, dan bathin selama pengembaraan Yuen Hao dalam menemani sang Biksu Budha melintasi banyak negara, dimainkan Janaka dengan cara yang berlainan selain Janaka memiliki karakter yang lembut, ia juga sedang memendam kerinduan. Alih-alih setiap tebasan, rangkaian tusukan, dan perbagai tipu gerak dimainkan dengan ganas dan brutal, Janaka memainkan tiap gerak dengan sangat puitis, tiap tebasan melambangkan rindu yang mendalam, tiap tusukan seakan-akan adalah syair cinta tak tersampaikan, pedangnya adalah pena yang menuliskan puisi.


     Sosok tegap dengan kilasan mata yang tajam menatap lekat-lekat permainan pedang Janaka yang terlihat ritmis, bagaikan gerimis di suatu petang ketika induk elang kembali ke sarang. Kepalan tangan yang mengeras, badan yang kokoh dengan tinggi menjulang dengan hembusan nafas yang benar-benar halus dari sosok pengintai Janaka membuat ia seolah-olah hanyalah selintas kabut tipis dalam rimbunya hutan.

    Saat permainan tongkat pendek Pandu Janaka membuat suara yang menderu dan mengakibatkan pepohonan bergetar, ratusan dedaunan berguguran bagaikan terkena tiupan topan, tepat saat dedaunan berhamburan di udara sosok berbadan tegap itu menyerang dengan tangan kosong.

Amuk di CandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang