Desa Handayang Nyiur

10 0 0
                                    

    Amandit berarus tenang, lanting gadang pisang milik Pandu Janaka melaju dengan lembut. Gemericik air membasahi baju Pandu Janaka, memberikan rasa sejuk di kulit dan menenangkan denyut jantungya.

  Pandu Janaka menutup matanya dan dalam keadaan bersila ia mengatur pola nafasnya. Alunan denyut jantungya ia serasikan dengan lembutnya angin bertiup, deru jantungya yang awalnya memburu akibat upaya penyergapan dirinya tadi pun menjadi lebih tenang.

  Di atas kepalanya beterbangan burung-burung yang tak ia kenal namanya. Kepak sayap kawanan burung tersebut menyisakan jejak suara di udara. Pekik dan kicau burung yang berlainan jenis pun ikut memberi warna di suatu siang menjelang sore tersebut.

  Perjalanan sungai dirinya hampir berakhir. Kini di sisi sungai sudah banyak terlihat penduduk yang beraktifitas, orang memancing, atau ada sekelompok anak-anak yang mandi. Semacam ada jeda di sisi sungai, terkadang hanya ada jejeran pohon dan rimbunnya dedaunan lalu di jeda berikutnya. Namun, setelah beberapa tombak akan ada rumah penduduk walau masih jarang.

   Di sisi sungai pun sudah ada semacam jalan setapak yang sudah nyaman untuk dilalui. Jalan yang mempermudah akses jalan antar desa maupun ke arah kotaraja. Walau para penduduk desa lebih menyukai menaiki jukung jika harus ke kotaraja.

  Di kejauhan sana nampak ada pemuda dengan badan gempal sembari memijiti kedua kakinya. Sosok itu nampak duduk kelelahan dengan bersandar pada buntalan kain yang sedari tadi dipanggulnya. Tentu saja Pandu Janaka mengenal sosok di kejauhan tersebut, pemuda gempal yang duduk menumpang di sebuah gerobak sapi yang mengangkut hasil kebun.

  Perlahan Pandu Janaka dan lanting gadang pisang yang dikendarai menuju ke arah pinggir sungai. Setelah tersisa jarak sekitar dua tombak, Pandu Janaka melesat. Dirinya melompati sungai dengan entengya dan dalam sekejap ia sudah berada di sisi sungai.

Sekelompok anak kecil yang sedang bermain di pinggir sungai menjadi terpana karena melihat aksi Pandu Janaka melompat yang seolah-olah terbang itu. Salah satu dari mereka langsung mencoba mengikuti apa yang dilakukan Pandu Janaka.

  Bocah itu memasang kuda-kuda, lalu dengan sekuat tenaga ia melompati sungai menuju ke arah lanting gadang pisang yang ditinggalkan Pandu Janaka. Sejenak seluruh teman-temannya ikut terpana, sebelum rasa kagum tadi berubah jadi tawa yang membahana. Bocah yang tadi melompat langsung terjatuh begitu saja, untung saja bocah itu bisa berenang.

  Tanpa menghiraukan aksi para bocah itu lagi, Pandu Janaka kini berjalan dengan cepat. Dirinya Mencoba mengejar gerobak sapi yang ditumpangi oleh Utuh Bulat, untung saja gerobak tersebut berjalan dengan lambat. Kini jarak antara Pandu Janaka dan Utuh Bulat hanya tersisa selemparan batu saja. 

   Utuh Bulat terlihat sedikit terlelap sambil bersandar pada buntalan kain yang disandangnya. Angin sepoi-sepoi di suatu siang menjelang sore itu kian melenakannya, sebelum ia tersadar ada sosok Pandu Janaka yang kini berjalan di belakang gerobak sapi yang ia tumpangi.

  Utuh Bulat tersenyum lalu tanpa aba-aba ia melompat dari gerobak sapi pengangkut barang dan hasil kebun tersebut.

  "Makasih Pakacil atas tumpangannya!", ucap Utuh Bulat kepada paman yang menjadi kusir gerobak tersebut

  "Sama-sama!", ucap sang kusir. Dan gerobak sapi itu pun berlalu pelan, menyisakan derap dan lenguhan.

   Utuh Bulat dan Pandu Janaka kini menjadi kawan seperjalanan kembali. “Ayo berangkat anak muda!", ujar Utuh Bulat dengan semangat, buntalan tas dan bumbung bambu berisi air kini ia sandang lagi. 


    Dengan langkah-langkah yang panjang Janaka dan Utuh Bulat berjalan menuju tempat ditemukannya mayat Mahisa Grimba. Utuh Bulat dengan kaki yang lebih pendek mengimbanginya dengan langkah kaki yang dipercepat, satu langkah oleh Janaka akan diimbanggi dua langkah Utuh Bulat. Rupanya beristirahat sejenak sudah mengembalikan tenaganya.

Amuk di CandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang