Berpisah Jalan

10 0 0
                                    

    Sungai Amandit dengan suara yang menggelegar menjadi semacam musik pengiring bagi Janaka dan Utuh Bulat yang melakukan perjalanan menuju tempat ditemukannya mayat Mahisa Grimba.
  
   Hutan-hutan menaungi tiap langkah mereka, dedaunan yang berdesir menawarkan tiupan angin membuat langkah mereka semakin ringan karena sejuknya suasana hutan.

  Utuh Bulat berjalan dengan cepat sambil berusaha mengimbangi langkah-langkah panjang kakinya Pandu Janaka. Pemuda berbadan gempal itu sama sekali tidak mengeluh, walau dirinya sudah mulai bermandikan peluh.

  Desir angin, desau daun, pula gemericik sungai laiknya pengobat lelah. Peluh di tubuh Utuh Bulat seakan terbasuh tiupan angin lembut, rasa lelah di sekujur badannya seakan ikut hanyut dibawa derasnya Amandit.

   Sejauh mata Utuh Bulat dan Pandu Janaka memandang hanya hijaunya dedaunan dan rimbunnya hutan yang meneduhkan. Semua riuh ibukota yang terasa melelahkan menjadi pupus oleh keanggunan  pegunungan Meratus. Utuh Bulat dan Pandu Janaka berjalan di kaki pegunungan Meratus, menyisir jalan, menerka-nerka rute mana saja yang akan ditempuh rombongan Mahisa Grimba seandainya selamat.

      Sesekali mereka berpapasan dengan penduduk yang menjadikan hutan dan sungai sebagai ladang penghidupan mereka.

  Dahulu kala, konon. Datu Ayuh atau Dayuhan dan Bambang Basiwara atau Intingan hidup di pegunungan Meratus. Mereka berdua adalah dua bersaudara yang kelak akan menjadi leluhur orang Banjar dan suku Dayak di Meratus.

  Seperti hutan dan hujan, Intingan dan Dayuhan adalah dua bersaudara yang saling melengkapi. Warisan mereka adalah Meratus yang menjadi penyangga kehidupan bagi warga Banjar dan Dayak kelak.

   “Janaka, sudah hampir setengah hari kita berjalan ada baiknya kita istirahat dahulu”, ujar Utuh Bulat sembari menyeka butiran peluh yang menetes dari dahinya. Kakinya pun sudah mulai terasa penat.


     Matahari yang meninggi dengan cahayanya yang merembes melintasi lebatnya dedaunan membuat Janaka tersadar mereka sudah hampir setengah hari berjalan. Utuh bulat nampak berjalan dengan langkah yang mulai melambat, desau angin yang menyejukkan tidak bisa menghapus keringat yang terus bermunculan di wajahnya.

     Janaka dan Utuh Bulat berhenti sebentar, dengan pandangan yang memendar Janaka memilih tempat di bawah pohon yang rindang sebagai tempat mereka beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.
“Kamu ini bagaimana… menjadi prajurit kerajaan harusnya tidak mudah capek dan tidak boleh mengeluh, apalagi hanya sekedar perjalanan setengah hari dari kota raja”, ujar Janaka dengan tertawa sembari melihat karibnya itu menghempaskan dirinya di bawah pohon yang menawarkan teduhnya hutan perawan.

   Keteduhan yang melenakan, semua lelah pun sirnalah. Matahari kini di puncak tertinggi, namun segala keangkuhannya terhalang rimbun dedaunan dari deretan pohon di kaki Meratus.

     Utuh Bulat sama sekali tidak banyak bicara, dengan kaki yang diselonjorkan ia langsung menenggak air dari wadah bambu yang dibawanya. Hampir saja ia tandaskan semua air minum di wadah bambu miliknya, seandainya ia tidak ingat bahwa perjalanan mereka masih panjang.

  Pandu Janaka di wajahnya terukir senyuman, sebuah lengkungan dari bibirnya akibat melihat tingkah sang kawan seperjalanan.

    Rasa penat yang dirasa Utuh Bulat menjalar dari ujung kaki ke ujung rambut, sedikit demi sedikit mereda. Beberapa teguk air dari wadah bambu itu rupanya bukan hanya berguna menghilangkan dahaga, pula ia menyapu lelah yang bergelayut di tubuh.

    Dedaunan yang bergemerisik, tiupan angin yang melenakan, serta lelah yang berangsur menjauh membuat Utuh Bulat mulai terserang kantuk. Kelopak matanya terasa memberat, tanpa ada usaha untuk melawan Utuh Bulat biarkan saja kantuk itu melanda.

Amuk di CandiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang