Hari ini aku terbangun dari tidur karena mendengar suara berisik dari kamar rawatku. Kepalaku masih sedikit pusing, demamku juga sepertinya belum turun, pandanganku buram. Aku berusaha menajamkan pendengaranku.
Itu suara ayah dan ibu. Mereka seperti sedang berdebat. Ayah dan ibu jadi lebih sering bertengkar sejak aku sakit. Hal yang mereka ributkan juga sama, yaitu diriku.
Aku tak terlalu mengerti apa yang mereka perdebatkan, tapi aku tau semua pasti karena masalah uang dan waktu. Terkadang mereka akan berdebat kecil di depanku. Itu membuatku takut.
Aku mencoba turun dari ranjang. Walau rasanya sedikit sulit karena tubuhku lemas dan terasa sakit, tapi aku ingin menghentikan perdebatan ayah dan ibu. Aku tau mereka tak akan menyakiti satu sama lain, tapi aku tak suka melihat mereka harus bertengkar hanya karenaku.
"Ayah, Ibu, jangan bertengkar"
Hanya itu yang bisa aku ucapkan ketika aku berhasil mencapai pintu dan membukanya.
Ibu berjalan mendekatiku, ia memelukku dan menangis sesenggukan.
"Ibu, jangan menangis. Jeno sedih melihat ibu menangis"
Sedangkan ayah? Ia hanya terdiam sambil menatap kami dengan mata yang berair. Rasanya menyakitkan sekali melihat kedua orang yang sangat aku cintai seperti ini.
"Jeno menyusahkan, ya?"
Ibu menggeleng dan masih memelukku.
"Maaf karena Jeno kalian menjadi bertengkar seperti ini"
Ayah menghampiri kami, lalu mulai merengkuh kami ke dalam pelukannya. Hangat sekali rasanya berada dalam pelukan ayah dan ibu.
"Ayah.. Ibu.."
Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka ketika aku merasakan ada yang mengalir secara mendadak dari hidungku. Benar saja, aku melihat blazer biru laut yang ibu pakai kini sudah kotor karena darah.
Semua tiba-tiba saja terlihat berputar. Tubuhku jauh lebih lemas dari sebelumnya, kakiku tiba-tiba mati rasa. Aku ambruk ke pelukan ibu.
Aku bisa mendengar mereka memanggil namaku, namun aku tak lagi ada tenaga untuk sekedar membuka mata apalagi menjawab panggilan mereka.
Bahkan sebelum kegelapan menelanku, aku masih bisa mendengar suara ayah dan ibu yang terus menerus menanggil namaku.
.
.
.
Setelah kejadian itu, sepertinya aku tertidur cukup lama. Entah beberapa hari aku tak tau, ayah dan ibu enggan memberitahuku. Yang jelas ketika bangun, badanku terasa lemas sekali. Tenggorokanku kering dan sedikit perih, seperti tak tersentuh air selama beberapa hari. Infus di tanganku juga bertambah. Belum lagi ada selang oskigen yang bertengger di hidungku.
Aku hanya menemukan Ayah disampingku ketika terbangun. Ayah sedang terpaku di depan laptopnya sembari ditemani segelas kopi dingin yang menjadi kesukaan ayah.
Aku ingin memanggil ayah, agar ayah tau kalau aku sudah bangun. Tapi tidak bisa, tenggorokanku kering dan sakit sekali. Jadi aku hanya pasrah dan menunggu hingga ayah menoleh ke arahku.
'Ayah, ayo menoleh. Aku butuh air'
"Jeno, anak ayah sudah bangun ya rupanya?"
Akhirnya ayah menoleh ke arahku. Aku sebisa mungkin menarik bibirku untuk tersenyum.
Ayah mematikan laptonya dan segera berjalan ke arahku. Ia mendekatiku dan menciumi seluruh wajahku sembari mengucap kalimat syukur berkali-kali.
"A-ayah.. haus.." ucapku nyaris tak terdengar.
Ayah mengangguk. Ia meraih botol air mineral dan membantuku untuk minum. Tenggorokanku sedikit terasa lebih baik.
"Ayah panggil dokter, ya?"
Aku hanya bisa mengangguk lemah untuk menjawab ayah.
Ayah kemudian keluar dari ruangan. Lalu tak lama kembali bersama Dokter Choi.
"Wah~ jagoan sudah bangun rupanya"
Aku hanya diam. Bukan tak mau menaggapi, hanya saja aku belum ada tenaga.
"Tidurmu lama sekali. Jeno mimpi indah, ya?"
Aku hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Aku bahkan tak ingat aku mimpi apa saja ketika tertidur lama.
Dokter Choi mulai memeriksaku.
"Jeno, apa yang sekarang kau rasakan?"
"Lemas.. sesak.."
Ekspresi Dokter Choi berubah. Tapi ia hanya mengangguk dan kemudian membisikkan sesuatu kepada ayah. Lalu mereka berdua keluar dari ruanganku. Meninggalkanku dengan banyak pertanyaan.
Sepertinya kondisiku memburuk.
.
.
.
21 April 2020
Tuhan, aku mendengar percakapan ayah dan Dokter Choi tadi. Walau samar-samar, tapi aku bisa menangkap sedikit yang mereka bicarakan.
Dokter Choi bilang sel kankernya sudah sampai ke paru-paruku. Pantas saja dadaku sering sesak sejak beberapa waktu lalu, dan semakin parah ketika aku bangun tadi.
Kalau sudah sampai ke paru-paruku, nanti aku akan kesulitan bernafas, ya?
Kalau aku semakin menyusahkan ayah dan ibu lagi, bagaimana?
Tuhan, aku ingin sembuh.
Ayah dan Ibu hanya punya aku. Jangan ambil aku dari mereka.
Ah! Atau begini saja..
Bagaimana kalau Tuhan memberi Jeno seorang adik?
Setidaknya, nanti kalau aku pergi, ayah dan ibu masih punya adikku untuk menemani mereka.. hehehe
Tuhan, tolong catat permohonanku yang satu ini ya. Ini penting sekali ;)
.
.
.
TBC
Chapter yang ini agak panjang hehehe. Semoga kalian ga bosen ya.
Jangan lupa tinggalkan jejak~ terimakasih❤️